PEMIKIRAN
NEO-SUFISME
Oleh:
Otoman
Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas
Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.
Abstract:
Neo-Sufism can be regarded as a reaffirmation effort Islamic values
kaffah ( intact ), namely life tawazun ( berkeseimbangan ) in all aspects of
life and in terms of human expression. Neo-Sufism has prompted the opening of
opportunities for the appreciation of religious significance and its practice
is more intact and not limited to just one aspect, but balanced. Supposedly
every Muslim should recognize and realize the importance of the spiritual in
Islam, but also keep in mind that the Quran states this is the real world not a
mirage, nor maya without meaning. In principle Neo-Sufism has three things: First, al-Quran
and al-Hadith. Second, make the Holy Prophet and salafi generation as a role
model. Third, tawazun ( principle balance ) in Islam. The third principle is
then supported by some anomaly in a fundamental reconstruction of Sufism and
Sufi discourse formulation for the development of the concept of Neo-Sufism. Reconstruction
and dynamics that include substantial essence of Sufism or ontological
dimension, in this case related to three important things, which is
substantially and methodologically, what is the source and means of acquisition
(epistimologisnya aspects), as well as the function of Sufism, or axiological
aspect. Thus, this article will discuss the nature of Neo-Sufism and thoughts related
to the reconstruction effort, formulation and dynamic discourse of Sufism in
the development of the concept. 
Keywords:
Thoughts and Neo-Sufism
PENDAHULUAN
Kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad
saw. diyakini
dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di
dalamnya terdapat petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi
hidup dan kehidupan agar lebih bermakna dalam artian yang luas. Petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Quran dan  al-hadits, tampak ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan
material dan
spritual, mengembangkan kepedulian sosial, mengutamakan persaudaraan,
berakhlak mulia, dan sikap positif lainnya. 
Namun kenyataannya umat Islam  jauh dari cita ideal tersebut. Dalam  perjalanan 
sejarahnya, antara kedua dimensi penghayatan  keagamaan tersebut sempat menimbulkan konflik
antara  ahli  tasawuf dan ahli  fikih, konflik  antara  ahli 
hakikat  dan  ahli 
syariat,  konflik  antara 
penganut  ajaran  esoterik dan 
penganjur ajaran eksoterik atau 
antara golongan  Islam ortodoks
dengan  golongan  Islam 
heterodoks.  Hal ini  terjadi 
terutama pada abad  III  H.[1]
Selanjutnya  dengan  semakin 
berkembangnya  tasawuf  pada saat itu, lahirlah dua corak pemikiran
tasawuf, yaitu
corak tasawuf yang materi dasarnya bersandar pada al-Quran dan al-Sunnah,
dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas. Sementara  corak 
yang  lain  adalah 
tasawuf  yang  materi 
dasarnya  banyak  bersumber dari  filsafat.                    
Melihat kondisi seperti ini, tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba memformulasikan tasawufnya yang sengaja dirancang guna rekonsiliasi sufistik antara berbagai disiplin keislaman dan lembaga tasawuf yang semakin senjang. Namun usaha ini belum mampu mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual, selalu mempraktekkan sikap ‘uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia.[2] Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial. Maka terjadilah ketimpangan, yang mana penekanan pada aspek esoteris semata membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, yang didapat hanya kesalehan individual semata, bukan kesalehan sosial. Menurut Hamka, hal ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dikarenakan cukup lama menjauhi dunia, ketika hendak berkurban, tidak ada yang hendak dikurbankan, berzakat juga tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan. Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia.[3]
Melihat kondisi seperti ini, tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba memformulasikan tasawufnya yang sengaja dirancang guna rekonsiliasi sufistik antara berbagai disiplin keislaman dan lembaga tasawuf yang semakin senjang. Namun usaha ini belum mampu mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual, selalu mempraktekkan sikap ‘uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia.[2] Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial. Maka terjadilah ketimpangan, yang mana penekanan pada aspek esoteris semata membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, yang didapat hanya kesalehan individual semata, bukan kesalehan sosial. Menurut Hamka, hal ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dikarenakan cukup lama menjauhi dunia, ketika hendak berkurban, tidak ada yang hendak dikurbankan, berzakat juga tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan. Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia.[3]
Menghadapi realitas ini,
pada awal abad XX, lahir pemikiran baru yang menginginkan tasawuf tidak berpola
seperti yang telah diuraikan di atas, dalam pandangan mereka tasawuf harus
positif dalam memandang kehidupan dunia, tidak boleh menjauhinya dan justru
harus berperan aktif di dalamnya. Pemikiran ini
terinspiratif dari ulama besar Abad Pertengahan Ibnu Taimiyah yang telah secara
intens memberikan perhatian terhadap permasalahan umat dan agama, termasuk di
dalamnya masalah tasawuf. Lalu dipopulerkan Rahman dengan istilah Neo-Sufisme.
Gejala ini juga bisa dikatakan sebagai pembaruan dalam dunia sufisme, menurut
Azra hal ini terjadi akibat berbagai permasalahan agama, sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang kompleks. Selain itu keadaan ekonomi yang mapan
mendorong umat Islam tidak hanya beribadah namun mengeksplorasi pengalaman
keagamaan dan spritualitas yang intens dan hanya didapat dari sufisme yang
tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.[4]
Dengan demikian perlu diketengahkan dalam tulisan ini mengenai konsep
Neo-Sufisme, sebab ide terpenting dari Neo-Sufisme adalah tawazun atau
keseimbangan, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.
PEMBAHASAN
Pengertian Neo-Sufisme
Istilah neo-sufisme terdiri dari dua kata
neo dan sufisme. Neo berarti sesuatu yang baru atau yang diperbarui.[5] Sedangkan sufisme berarti nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam
agama Islam.[6]
Dengan demikian, neo-sufisme dapat diartikan bentuk baru sufisme atau pembaruan
sufisme dalam Islam. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah
ini, neo-sufisme adalah Reformed Sufism, sufisme yang telah diperbarui.[7] Neo-sufisme secara singkat dapat dikatakan
sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni kehidupan
yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi ekspresi
kemanusiaan.[8] Dengan alasan ini pula dapat dikatakan, bahwa yang disebut
neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepatnya dikatakan
sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat
sesuai dengan kondisi kekinian. Seperti apa yang dikemukakan Burhani,
Neo-Sufisme dalam terminologi Fazlur Rahman atau tasawuf modern dalam
terminologi Hamka berusaha tetap mempertahankan hasil-hasil positif dari
modernisme dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat padanya. Ia
berpegang pada pepatah khudz ma shafa, da’ ma kadara (ambil yang baik
dan buang yang buruk). Atau dalam istilah ushul al fiqh dirumuskan
dengan al-muhafadzah ‘ala al- qadim al-shalih wal-akh’dzu bil-jadid al-ashlah (mengadopsi hasil-hasil capaian
generasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik.[9]    
Sekilas tentang Perjalanan Tasawuf
Menurut para peneliti, disiplin tasawuf
muncul dalam Islam di sekitar abad ke-3 Hijrah atau abad ke-9 Masehi.[10]
Ia adalah lanjutan daripada kehidupan keberagamaan yang bersifat zahid dan
‘abid di sekitar serambi Masjid Nabawi pada ketika itu. Kebanyakan
pengkaji sufisme berpendapat bahwa sufi dan sufisme disamakan dengan sekelompok
Muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin
oleh Abu Dzar al-Ghiffari. Mereka ini menempuh pola hidup yang sangat
sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada
Allah SWT. Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebahagian umat Islam
yang dalam perkembangan selanjutnya disebut tasawuf atau sufisme. Fase awal ini
disebut sebagai fase zuhud (asceticism) yang merupakan bibit awal
kemunculan sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya
individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga kehidupan
keseharian lebih tertumpu kepada aspek ibadah dan mengabaikan keasyikan
duniawi. Kondisi ini juga muncul akibat reaksi keras terhadap sikap para fuqaha
yang sangat menekankan aspek hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga
mengarahkan umatnya pada pemujaan terhadap hukum sebagai ekspresi Islam yang
lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya hukum hanyalah berkaitan
dengan  perbuatan eksternal manusia dari
masyarakat. Sehingga pergerakan sufi pada awalnya yang hanya menekankan kepada
manusia akan pentingnya furifikasi spritual dan dimensi moral, berubah menjadi
metode komunikasi dengan Tuhan bersifat esoterik. Hal ini menjadikan sufisme
menjadi semacam “lawan” terhadap kaidah hukum dan fikih yang begitu formal dan
gersang.[11] Bagi Islam
memungkinkan pengamalan agama secara eksoterik dan esoterik sekaligus karena
Islam adalah agama yang kaffah. Walaupun tekanan yang berlebihan kepada
salah satunya akan mengganggu prinsip tawazun dalam Islam yaitu
melahirkan ketidakseimbangan, namun pada kenyataannya dalam realita umat Islam
hal ini terjadi.[12]                                
Pada perkembangan sufisme selanjutnya, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan yang harus dilalui oleh seorang sufi, yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu yaitu al-ahwal. Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta batasannya hingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam pada itu juga, muncul para tokoh tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan dengan adanya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dzawq dan al-kasyf.[13]
Pada perkembangan sufisme selanjutnya, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan yang harus dilalui oleh seorang sufi, yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu yaitu al-ahwal. Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta batasannya hingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam pada itu juga, muncul para tokoh tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan dengan adanya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dzawq dan al-kasyf.[13]
Sejak kemunculan doktrin al-fana’ dan
al-ittihad, maka terjadilah perselisihan pendapat terhadap tujuan akhir
sufisme. Jika pada mulanya sufisme bertujuan suci dan murni yaitu selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga dapat ‘berkomunikasi’ dengan-Nya,
maka selanjutnya tujuan itu terus berkembang kepada derajat ‘penyatuan diri’
dengan Tuhan. Konsep ini berasaskan kepada paradigma bahwa manusia yang hidup
secara biologis merupakan sejenis makhluk yang mampu melakukan suatu
transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi`raj) spiritual ke alam
ketuhanan. Dengan adanya world view terhadap konsep seperti itu, maka
muncul pula konflik dalam kalangan para fuqaha (ahli hukum) dan para
teologis dengan kaum sufi. Mereka (fuqaha dan teologis) menuduh ahli-ahli sufi
sebagai perusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun apabila dikaji lebih
mendalam konflik tersebut bukanlah bersumberkan dari pemikiran sufisme, akan
tetapi di sana terdapat unsur-unsur terhadap kepentingan politik dalam diri
masing-masing. 
Dengan adanya
kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai Ilahiyah
menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rohani selain juga
makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia
memerlukan hal-hal yang bersifat kebendaan, namun sebagai makhluk rohani ia
memerlukan hal-hal yang bersifat kerohanian. Hal ini sesuai dengan orientasi
ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek kerohanian, maka manusia itu pada
dasarnya cenderung untuk hidup secara bertasawuf atau dengan perkataan lain,
bertasawuf merupakan fitrah hidup manusia. Berdasarkan nilai-nilai yang ada
dalam ajaran tasawuf mengatakan bahawa selagi manusia masih dibelenggu dengan
kungkungan jasmani dan kebendaan, maka selagi itu pula ia tidak bertemu dengan
nilai-nilai rohani yang dicari. Dengan demikian, seorang hamba itu perlu
berusaha melepaskan rohani dari kungkungan jasmaninya. Maka, dia perlu melalui
jalan riyadhah (latihan) yang memerlukan waktu yang cukup lama. Riyadhah
atau latihan ini juga bertujuan untuk mendidik rohaninya agar senantiasa dalam
keadaan suci dan bersih. Hal ini disebabkan oleh naluri manusia senantiasa
berusaha untuk mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya.
Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, hal ini tidak dapat dilalui hanya dengan mempergunakan
ilmu pengetahuan saja,  karena ilmu
adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan
merasa kehilangan dan kehampaan jika bergantung kepada ilmu kebendaan saja.
Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanyalah dengan iman yang kuat dan perasan
hidup yang aman bersama Allah SWT. Oleh karena kecenderungan manusia itu ingin
selalu berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka segala
perbuatan yang menyimpang daripadanya merupakan penyimpangan dan melawan
fitrahnya.
Pada prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah diciptakan Allah pada diri manusia yang merupakan kehidupan yang hakiki. Sebagaimana yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam ruh sebagaimana telah dinyatakan dalam al-Qur’an.[14] Pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah SWT. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang terjadi terhadap kehidupan manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh perputaran baik atau buruk yang berperan dalam membentuk kepribadian seseorang manusia. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang senantiasa ‘mendambakan’ diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Sebab kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah SWT. yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mana kejadian asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan.
Pada prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah diciptakan Allah pada diri manusia yang merupakan kehidupan yang hakiki. Sebagaimana yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam ruh sebagaimana telah dinyatakan dalam al-Qur’an.[14] Pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah SWT. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang terjadi terhadap kehidupan manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh perputaran baik atau buruk yang berperan dalam membentuk kepribadian seseorang manusia. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang senantiasa ‘mendambakan’ diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Sebab kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah SWT. yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mana kejadian asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan.
Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik
sebagai cikal bakal neo-sufisme di atas, maka dalam perkembangan tasawuf terutama
pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa, antara lain dipengaruhi pelbagai macam corak
budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang
bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan
ide gagasan pada pembentukan moralitas, di-back up ulama
moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan
materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi
hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang
mengemukakan pengalaman ekstasi-fana’nya dan ucapan-ucapan syatahat
ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti yang sudah
diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat al-Wujud atau Al-Ittihad
atau lainnya. 
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan
sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah.
Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak
tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan
yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya. Oleh karena
itu, wajar apabila melalui penekanan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk
memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah
aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin
(bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah
ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih
menitikberatkan perhatian pada aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini
dinamakan sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara
dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan
konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat, hakekat dan makrifat yang terpadu
secara utuh. 
Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa
penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan terpadu antara
syariat dan tasawuf.. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih
dahulu memahami syariat, tetapi untuk dapat memahami syariat secara benar dan
mendalam, harus melalui proses tarekat. Tarekat merupakan sistem esoterik yang
akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.[15] Usaha
rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi
dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh
Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf
justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi
spiritual-mistik-individual. Namun usaha al-Ghazali harus diakui sebagai
inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun mempunyai beberapa kelemahan terutama
pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana individu menjadi pusat
perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut al-Ghazali sendiri
dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan
dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.                       
Tatkala kondisi dan
fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya
membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral
umat dengan merekonstruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini
sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang
diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur
Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[16] Istilah Neo-Sufisme sebagaimana diungkapkan sebelumnya berasal dari
pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[17]
Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi
telah menjadi perbincangan yang luas di kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur
Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf modern dalam bukunya Tasawuf
Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme”
yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya
kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam masalah‘uzlah.
Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep
hakikat[18],
maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif
dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.[19]
Adapun konsep neo-sufisme
oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia,
serta umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan
sosial. Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu
Neo-Sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai
kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan
dari penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi
yang merupakan produk dari era modernisme. Modernisme dinilai telah gagal
memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu, banyak
orang yang ingin kembali kepada nilai-nilai keagamaan, sebab salah satu fungsi
agama adalah memberikan makna bagi kehidupan. 
Demikianlah, era post-modernisme yang
dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek
kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak.
Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali
upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga
dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh
penulis kontemporer seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk
menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam.
Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan
pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep
Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya
berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini, yaitu
sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau
eksklusif. Sufisme yang berkembang belakangan ini (pasca-modernisme) membangun
kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi
serta perlunya memahami orang lain yang kesemuanya terdapat dalam Neo-Sufisme.
Karakteristik Neo-Sufisme
Kalau pada era kecemerlangan sufisme
terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstasik-metafisis atau
mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini hal itu digantikan dengan
prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-Sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada
pembinaan pada sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu
didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal
kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan Neo-Sufisme adalah
“puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperan dalam
reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam
kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut
adalah kumpulan Ahl al-Hadits[20].
Mereka ini mencoba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang
dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme
melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan Neo-Sufisme cenderung pada
penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan
prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian yang sama terhadap kehidupan duniawi
dan kehidupan ukhrawi[21].
Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan adanya penyatuan nilai antara
kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang
“terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis. Dalam hal ini, al-Qushashi
menyatakan bahwa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari
masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan
melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat[22].
Begitu pula Sa‘id Ramadan al-Buti mengutarakan konsep Ruhaniyyah
al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Dia adalah penggerak konsep
neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap
dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan
ukhrawi, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah
egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar
adalah  tawazun, yaitu
keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta
kehidupan duniawi dan ukhrawi.[23]          
Ada dua hal yang menjadi ciri
utama Neo-Sufisme yang dikehendaki Ibnu Taymiyah, Pertama, Tauhid, dalam
arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan adanya
mitologi terhadap alam dan sesama manusia, termasuk juga faham kultus yang
dipraktekkan oleh banyak kalangan. Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama. Tidak boleh “pasrah”
kepada otoritas orang lain-betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya dengan
Tuhan- dalam bentuk taqlid buta.[24] 
Berdasarkan beberapa
pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahwa Neo-Sufisme berupaya
untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh, yaitu kehidupan yang seimbang
dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala aspek ekspresi kemanusiaan. Dengan
alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut Neo-Sufisme itu tidak
kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme
yang dipraktekkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan
kedudukan masa kini. Dengan mengutip sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang
mengatakan bahwa Neo-Sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan
keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam
masalah-masalah kemasyarakatan.[25] Neo-Sufisme mendorong dibukanya peluang bagi
penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak
terbatas pada salah satu aspek saja tetapi yang lebih penting adalah tawazun
( keseimbangan).
Pokok-Pokok Pemikiran Neo-Sufisme
1.    
Ibn
Taimiyyah
Mengenai pokok-pokok pemikiran Ibnu Taimiyah
tentang Tasawuf, sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi inti pemikirannya.
Yaitu tentang Keabsahan tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran (Sufisme),
serta praktek-praktek tasawuf dan tarekat yang berkembang waktu itu. Pertama, Tentang keabsahan
Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode
tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa
mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifat,
sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga
tidak dapat mengantarkan pada kebenaran.[26]
Menurutnya, tujuan akhir kehidupan manusia
adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat mengantarkan seseorang pada
pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada
umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu
pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa
pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggungjawabkan.[27]
Meskipun ia mengakui keabsahan metode eksperimental tasawuf, tapi ia
menyarankan agar Tasawuf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji
kebenaran konsepnya. Satu hal yang menurutnya amat membahayakan adalah konsep Wahdah
al-wujud, yang cenderung mengaburkan perbedaan antara khalik dengan mahluk.[28]
Ekses dari konsep tersebut
ternyata banyak disalahgunakan, misalnya, bila seseorang (Wali, Syaikh) telah
mengganggap dirinya sampai pada tingkat ittihad, maka ia berada di luar
batas-batas ketentuan Syariah.[29] Terhadap ini,
ia mengemukakan beberapa konsep kunci, antara lain tentang wali.[30]
Baginya kewalian bukan sesuatu yang tetap, tetapi relatif. Seseorang yang dekat
dengan Allah, karena ketaatan dan kesuciannya, akan mengantarkannya pada
kedudukan wali. Kebalikannya adalah bila seseorang berbuat maksiat, sesuatu
yang dilarang dalam agama, maka orang tersebut dapat kehilangan kedudukannya
sebagai wali (kekasih Allah). 
Kedua,
tentang praktek Tasawuf (Tarekat). Antara lain ia mengakui bahwa wali mempunyai
karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari
kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal
dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau
oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah,
dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada Allah, langsung
berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapa pun jua. Demikian juga ziarah
kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. 
Menurutnya taqarrub kepada Allah
dapat dilakukan dengan mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah. Mengenai
cinta pada Allah, ia memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai
dari Hubungan hati, curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah
penghambaan. Untuk mendapatkan cinta Allah, maka jalan satu-satunya adalah
dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Di sinilah letak
arti pentingnya jihad sebagai konsekwensi cinta Allah. Dalam kaitan ini ia
mengemukakan adanya mahabbah yang sesat, yakni dengan menghilangkan
kewajiban ubudiyah, serta meminta sesuatu pada Allah yang tidak layak. 
Dalam kerangka pembersihan jiwa, maka cara
yang ampuh adalah dengan menundukkan pandangan (fungsi pengekangan), serta
menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Mengenai Fana', Ia mengatakan bahwa
fenomena fana' yang sering dialami oleh syekh-syekh tarekat, bukan sesuatu yang
dibutuhkan. Secara khusus tentang kematian Al-Khallaj di tiang gantungan, ia
memberikan komentar yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Di antaranya ia
mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa al-Hallaj
adalah salah. Kemungkinan hakim hanya melihat yang lahir saja. Seringkali
prilaku yang lahir ternyata bukan hakekat yang sebenarnya. Terhadap konflik
antara kaum sufi dengan kaum fiqh, ia berpendapat bahwa bilamana pendekatan
tasawuf dan pendekatan hukum menghasilkan kesimpulan yang sama, maka kesimpulan
tersebut patut diikuti, tetapi bilamana di antara keduanya terdapat perbedaan,
maka tidak boleh salah satu pihak mengatakan bahwa dirinya lebih berhak untuk
diikuti.[31] Mengenai
Hulul, ia berpendapat bahwa kepercayaan tentang hulul (bersemayamnya
Allah pada diri manusia) adalah kafir, sebagaimana orang Nasrani meyakini Allah
bersemayam pada diri Isa al-Masih. Menurutnya, orang-orang beriman itu
mengetahui bahwa Allah adalah pengatur segala sesuatu. Dia jauh berbeda dengan
mahluk. Dia tidak berpadu dengan mahluk, tidak juga bersatu dengan mahluk.
Wujud Allah bukan wujud mahluk itu sendiri. 
2.    
Fazlur
Rahman
Untuk melacak Pemikiran Rahman di bidang tasawuf, dapat diketahui
dari pandangannya tentang perjalanan spiritual dalam Islam. Baginya
spiritualisme itu telah ada semenjak Nabi Muhammad saw, dan  ia 
sebagai  penunjang  misi 
kenabian  dan  kerasulannya, 
namun  para  sahabat tidak   mempersoalkannya,  sebab  
mereka   dituntut   melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya. Pengalaman spiritual dianggapnya 
sebagai  kekhususannya. Dalam
perkembangan selanjutnya,  penanaman  taat 
terhadap  hukum  Tuhan, lama-kelamaan menjadi tahapan khusus
interiorisasi dan introspeksi motif moral, hal inilah  yang 
menjadi  landasan  kehidupan 
asketisme  Islam  yang 
berkembang  dengan pesat pada abad
VII dan VIII M.[32]
Praktek 
tersebut  mendapat  dorongan 
kuat  dari  realitas 
sosial,  ekonomi  dan keberagamaan   masyarakat,  
khususnya   penguasa   Dinasti  
Umayyah,   maka   ada sekelompok  yang 
rupanya  meningkatkan  kesalehannya 
secara  individual.  Dengan demikian   gerakan  
ini   adalah   murni  
etis   dengan   pendalaman  
motif   etis.   Juga didorong  oleh  adanya  fenomena 
isolasi  politik,  agar 
umat  terlepas  dari 
percaturan politik dan kenegaraan serta umat secara keseluruhan, bahkan
sampai pada anjuran untuk uzlah ke gua, ditambah lagi reaksi terhadap
formalisme dan legalisme dalam Islam.[33]
Kehidupan  asketisme  merupakan 
awal  kehidupan  tasawuf 
yang  merupakan reaksi  atau 
protes  moral  spiritual 
dari  keadaan  pada 
waktu  itu[34],  yang 
akhirnya  membawa  sikap 
isolasi para  sufi  terhadap 
dunia,  dan sikap  sinisme 
politik  akan  menimbulkan 
pesimisme.  Rahman  sangat 
tidak  sepakat dengan   model  
kehidupan   yang   demikian  
tersebut   dan   keduanya  
bertentangan dengan  ajaran  al-Quran, 
sebab  yang  utama 
dalam  al-Quran  adalah 
imlpementasi aktual  dari  citra 
moral  secara  realistik 
dalam  suatu  konteks 
sosial[35].
Justifikasi   para  sufi  
dengan  kehidupan  Nabi  
tidak  bisa   diartikan penolakan  Beliau 
terhadap  dunia,  akan 
tetapi  sekedar  menunjukkan 
kesederhanaan Nabi.   Sebab   bagaimanapun   juga  
penolakan   secara   ekstrim  
terhadap   kehidupan duniawi
adalah salah dan hal demikian sangat asing bagi Nabi SAW sendiri. 
Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para
sahabat ada yang mengalami 
ektase-ektase  seperti  Abu 
Yazid  al-Busthami,  Ibn 
Arabi,  al-Hallaj  dan sebagainya. Pada dasarnya gerakan
asketisme ini adalah sebuah gerakan moral yang menandaskan  betapa pentingnya usaha-usaha  interiorisasi,  pendalaman dan penyucian   terhadap motif moral dan memperjuangkan
kepada umat  manusia  mengenai 
tanggung  jawab  yang 
maha  berat  yang 
dibebankan  dalam  hidup 
ini  ke atas pundak manusia.
Inilah yang sebetulnya model gerakan yang didukung oleh al-Quran dan al-Hadits
Nabi saw. 
Namun  dalam  prakteknya, 
Rahman  tidak  sependapat 
dengan  pandangan  para tokoh  
tasawuf   falsafi,   yang  
menurutnya   mereka   telah  
melakukan   "penambahan"
dalam   agama.   Karena  
ektase   (fana'   diri)  
yang   dijalaninya   telah  
menyebabkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate
goal atau perjalanan manusia menuju Khaliknya. Penolakan  Rahman 
tersebut  berdasarkann pada
perilaku Rasulullah.   Menurutnya,  seandainya  
ekstase   diri   para  
sufi   itu   dianggap  
sebagai religious   experience
(pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya. Tetapi  pengalaman 
asketisme  bukan  sebagai 
titik  akhir  apalagi 
mengisolasikan  diri dari   kehidupan 
duniawi,   melainkan  tampil 
dalam   bentuk  social 
movement  atau gerakan sosial.
Sebab kesucian seseorang  bukan
karena  keterasingannya  dari 
dunia dan   proses   sosial,  
namun   harus berada di  dalamnya 
dalam  bentuk gerakan menciptakan
sejarah. Dan demikian itulah yang sebetulnya menjadi tujuan utama, al-Quran;
yaitu  tegaknya  sebuah 
tata  sosial  yang 
bermoral,  adil  dan 
dapat  survive  di muka 
bumi.  Konsep  taqwa 
hanya  memiliki  arti 
dalam  konteks  sosialnya.[36].  Konteks 
sosial-historis  kemanusiaan,  memberikan 
tanggapan kritis  dan  pemikiran 
alternatif  untuk  keberadaannya 
khususnya  menghadapi  masa depan. 
Selain  itu  dikaitkannya 
dengan  berbagai  bidang 
keislaman  seperti  teologi, fiqh, politik, dan doktrin-doktrin
ortodok Islam secara kontekstual-sosiologis. 
Paradigma di atas kalau dicermati lebi dalam, maka sesungguhnya
gagasan Neo-Sufisme   Fazlur   Rahman  
tersebut   dilatar   belakangi  
oleh   beberapa   anomali  
atau problemeatika yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada
abad III H. Anomali   tersebut   adalah  
pertama,  anomali   teologis  
yang   berhubungan   dengan pengalaman ekstasik-fana' dan
ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak  ditandai 
oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, seperti  Hulul, 
wahdat  al-  wujud, 
ittihad  dan  sebagainya, 
kedua,  anomali  non-formalistik  yang 
berhubungan dengan  dasar  praktek-aplikatif tasawuf  yang 
tidak  bersandar  pada 
normativitas  al- Quran  dan 
al-Sunnah,  dan  ketiga,  anomali 
holistika, yang berhubungan dengan aspek 
aksiologis  (implementasi)  tasawuf 
dimana  para  sufisme 
lebih  memilih  sikap isolasi dari kehidupan dengan melakukan
kontemplasi dan uzlah dan tidak mau aktif dalam praksis kemasyarakatan. 
Maka    dengan    demikian   
Neo-Sufisme    Fazlur    Rahman   
dengan    kerangka pemikiran  back 
to  Qur'an  and 
Sunnah  yang  begitu 
kuat,  akan  melahirkan 
alternatif kehidupan sufistik di 
masa  sekarang  sesuai dengan tantangan zaman yang  semakin 
berkembang.  Neo-Sufisme   yang  
telah   dikonstruk Rahman  dapat 
dikategorikan  sebagai  tasawuf 
model  salafi.  Sebuah 
model tasawuf  yang  secara 
epistimologis  berdasarkan  acuan 
normatif  al-Quran  dan 
al- Sunnah,   menjadikan   Nabi  
dan   para   salaf  
al-shalihin   sebagai   panutan  
dalam aplikasinya   yang   tidak  
berlebih-lebihan   dalam   menjalankan  
proses   spiritualisasi
ketuhanannya   dengan   mengeliminir   unsur  
mistik-metafisik   dan   asketik  
dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan
dengan doktrin-doktrin   yang   bernuansa  
salaf   yang   qur’anik-normatif  
namun   tidak   elitis-ekslusif. Doktrin ini dimaksudkan
untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial  kemasyarakatan.  Hal ini dilakukan  karena 
berbagai  anomali  atau 
problem (teologis,  normative  dan 
sosiologis)  yang  berkembang 
di  tubuh  tasawuf 
kala  itu harus diperbarui
agar  tasawuf   sebagai  
bagian   dari   keislaman  
dapat memberikan  kontribusi  positif-konstruktif  terhadap 
kehidupan  masyarakat  muslim dalam berbagai bidang kehidupannya. 
Telaah  metodologis  Neo-Sufisme 
Fazlur  Rahman  di 
atas,  membawa  kita 
pada visi  baru  tentang 
tasawuf  sebagai  produk 
sejarah  masa  lalu 
yang  bermakna  ganda.[37] Pertama adalah mengembalikannya  pada bentuk keberagamaan  masa 
Rasulullah  namun dengan  tetap 
menerima  peranan  tasawuf dalam 
mendekati   Tuhan. Makna   yang  
kedua   adalah   mengembangkan  potensi tasawuf  untuk 
menawarkan  pemecahan praktis
masalah kemanusiaan abad modern dengan memanfaatkan   pengalaman 
intuitif. Dalam   hal   ini  
tasawuf   didudukkan sebagai
proses peningkatan kualitas keberagamaan atau meminjam rumusan Abu al-
Wafa  menunjuk  pada 
filsafat  dan  cara 
hidup  untuk  memperoleh 
keutamaan  moral, irfan
sufi dan kebahagiaan spiritual.  
Unsur dasar  yang menjadi
perhatian  utama  visi 
ini  adalah  sifat 
kehidupan  manusia  yang 
senantiasa  berubah.  Artinya, 
konteks  kehidupan  tasawuf 
di abad  lalu berbeda  dengan 
konteks  kekinian.  Karena 
masyarakat  manusia  adalah 
realitas  yang senantiasa berubah
dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini harus disikapi dengan  pola 
yang  baru  pula. 
Tasawuf  yang  dipraktekkan 
masakini  harus  dengan memperhatikan  bahwa 
masalah  kemanusiaan  dalam 
kehidupan  sosial  merupakan bagian  dari 
kerberagamaan  para  sufi. 
Tujuan  yang  dapat 
dicapai  tetap  sama 
yaitu ketenangan,  kedamaian  dan 
kebahagiaan  intuitif,  kemudian 
dilebarkan  bukan hanya untuk
individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial. 
Puncak   pengalaman   intuitif  
yang   diburu   oleh  
para   sufi   dan  
perkumpulan tarekat,   harus   tetap  
dalam   kesadaran  bahwa  
pengalaman  fana'   dan  baqa'
  yang  menjadi 
peluangnya  tidak  berlangsung 
selamanya,  melainkan  temporer. 
Jika  hal  ini dipahami 
sebagai  pengalaman  yang 
berlangsung  kontinyu,  maka 
akan  mematikan  fungsi tubuh untuk melakukan kewajiban agama.
Lebih dari itu, puncak pengalaman yang  
diburu   itu   adalah  
ahwal   yang   diperoleh  
sufi   bukan   atas  
dasar   karyanya melainkan  semata-mata 
anugerah  dari  Allah 
SWT.  Tahap  kesadaran 
sufi  pada  fana' dan baqa' tidak selamanya
harus berakhir pada penghayatan "diri" Tuhan. Syihab al- Din  Suhrawardi 
al-Maqtul 
mengemukakan  teori  yang 
sangat  menarik[38].  Menurut 
pendapatnya,  fana'  adalah 
tahap  pengalaman  sufi 
ketika  Tuhan menguasai  dan 
meliputinya  sehingga  kesadaran 
diri  yang  terbatas 
itu  lebur  dalam keberadaan-Nya.  Akan 
tetapi  dalam  pengalaman 
ini  sufi  masih 
memiliki  kesadaran akan  kedudukannya 
di  hadapan  Tuhan 
dan  dunia  sekitarnya. 
Pemenuhan  kewajiban kepada Tuhan
tidak melupakan kewajibannya terhadap dunia. 
Pemikiran   Suhrawardi   ini  
benar-benar   menyadarkan   akan  
potensi   tasawuf untuk
memiliki  penghayatan yang utuh,
keberadaan Tuhan dan  menghayati
pelaksanaan  petunjuknya di dunia
termasuk menghayati manusia. Sebagai suatu kesadaran,   pengalaman sufi masih   memiliki  
potensi  aktif   terhadap  
dunia  di sekitarnya.  Setiap 
kesadaran  manusia
sesungguhnya  memiliki  dua 
sisi,  yaitu  aktif dan fasif, sisi aktifnya berkaitan
dengan bentuk kegiatannya dalam kehidupan sosial. Bahkan  lebih 
dari  itu,  tingkat 
pengalaman  tasawuf  yang 
dimiliki  akan  merupakan kunci kualitas perilakunya sebagai
aktualisasi dari sisi aktif tersebut. 
Dengan   demikian,   tampilan  
empiris   seorang   Neo-Sufis  
menuju   kedekatan dengan  Allah 
SWT  dapat  dilakukan 
di  tengah-tengah  kesibukan 
dunia  modern.  Ia adalah 
seorang  mukmin,  namun 
sekaligus  seorang  wiraswasta, 
birokrat,  teknolog, bankir  atau 
bahkan  seorang  akuntan 
yang  senantiasa  menjadikan 
"tuts"  komputer
sebagai   "tasbih"   pemujian  
asma   Allah.   Atas  
dasar   persepsi   bahwa   zahid  
tidak berbeda  dengan  sufi,  
maka   ia   dapat  
melakukan   riyadhah   (latihan  
rohani)   dalam konteks   kesibukannya 
sebagai  orang modern.
Kelebihan   dari   sosok  
praktek   ini adalah  masing-masing individu mencapai peningkatan
spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan kebahagiaan di
sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa
membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri
menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan 
utamanya  adalah  memperoleh 
pengalaman  fana'  dan 
baqa'  di  sisi-Nya. 
Ia memang  berpeluang  untuk 
memperoleh  pengalaman  ma'rifat 
dalam  terminologi Imam   al-Ghazali,  
akan   tetapi,   persepsinya  
bahwa   pola   pengalaman  
keberadaan Tuhan  yang  terkait 
dengan  mengalami  pelaksanaan 
perintah-Nya dalam  kehidupan  sosial  
ini   akan   membangkitkan   semangat  
sufinya   untuk   membangun  
dunia   di sekitarnya.  Sufi 
jenis  ini  mungkin 
sekali  seorang  jutawan, 
namun  kenyatannya  itu tidak 
menjerat  hatinya  untuk 
tetap  berupaya  mencari 
kedekatan  dengan  Alah 
SWT yang sebenarnya menjadi tujuan dirinya. 
Profil  pengamal  Neo-Sufisme 
atau  yang  dikenal 
dengan  sufisme  baru 
tersebut di  atas tidak  semata-mata 
berakhir  pada  kesalehan 
individual  melainkan  berupaya untuk  membangun 
kesalehan  sosial  bagi 
masyarakat  di  sekitarnya. 
Mereka  tidak hanya   bermaksud   
memburu    surga    bagi   
dirinya    sendiri  dalam  
keterasingan, melainkan 
justru  membangun  surga 
untuk  orang  banyak 
dalam  kehidupan  sosial. Makna 
yang  dapat  diperoleh 
dari  pemahaman  ini 
adalah  alternatif  pengembangan tasawuf  untuk 
menghayati  keberadaan  Tuhan 
menuju  pada  pengamalan 
perintah- Nya dalam pola tasawuf sosial. 
PENUTUP
Neo sufisme secara singkat dapat
dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni
kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi
ekspresi kemanusiaan. Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan
makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah
satu aspek saja, tetapi seimbang. Setiap muslim harus mengakui dan menyadari
betapa pentingnya spiritual dalam Islam, tetapi juga harus diingat bahwa al-Quran
menyatakan dunia ini adalah nyata bukan fatamorgana, bukan pula maya tanpa
makna. Dari banyaknya ayat al-Quran yang beriringan
antara iman-amal salih dan hari akhir merupakan isyarat yang tegas yang
menunjukan formulasi kesatuan dimensi spiritual dan dimensi aktivitas nyata
dalam kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa yang disebut
neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepatnya dikatakan
sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat
sesuai kondisi kekinian.        
Pada prinsipnya Neo-Sufisme berasaskan tiga hal;  (1) al-Quran dan  al-Hadits,  
(2) menjadikan Nabi saw dan generasi salafi sebagai panutan, dan (3)
prinsip tawazun dalam Islam. Ketiga prinsip itu  yang kemudian ditopang oleh beberapa  anomali dalam 
tasawuf menjadi dasar rekonstuksi 
Rahman terhadap formulasi wacana tasawuf guna pengembangan konsep
Neo-Sufisme. Rekonstruksi dan dinamisasi itu meliputi: (a) Hakekat  substansial tasawuf  atau 
dimensi  ontoligisnya,  berhubungan dengan dua  hal penting: pertama Secara
substansial, tasawuf adalah perpanjangan tangan dari ajaran Islam itu sendiri
yang menekankan  pembentukan  moralitas, 
tekun beribadah  dan  tidak 
tenggelam  dalam  glamoritas 
dan  kenikmatan jasmani-duniawi. Kedua
Secara metodologis, tasawuf merupakan bentuk ijtihad  terutama bidang  amalan 
batin  yang  keberadaannya sepadan dengan bidang-bidang
keagamaan Islam lain. (b) Sumber dan perolehannya (aspek epistimologisnya),
yang menekankan bahwa  wacana  tasawuf 
dan  praktek-aplikatifnya  harus 
berasal/diambil dari sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah),
demikian pula dalam rangka mendalami dimensi sufistik dan memperoleh  pengetahuan 
(tujuan)  spiritual  harus 
tetap  dalam  kontrol kedua sumber pokok tersebut,
serta  praktek-praktek  kesufian-spiritual generasi  salafi. 
Hanya  dengan  berpatokan pada dua  dasar dan salafiyyin itulah sufisme dapat
dianggap sah. (c) Fungsi tasawuf, atau aspek aksiologis, yang menekankan
kegunaan dan manfaat tasawuf yang harus ditujukan untuk pengkayaan penghayatan
ajaran Tuhan, yang berimplikasi pada pembentukan moralitas individual dan
sosial baik kultural maupun strukturalnya secara inklusif. Sebaliknya
penghayatan spiritual tersebut tidak diarahkan pada eksistensi Tuhan yang spekulatif-mistik
yang berimplikasi pada eksklusifme dan stagnan. Dengan  formulasi 
wacana  tasawuf  tersebut 
maka  tasawuf  dalam term Neo-Sufisme adalah tasawuf
Salafi, yang secara lebih khusus memiliki ciri khas puritanis, aktifis dan
populis. Model tasawuf  tersebut  dalam perkembangannya melahirkan semangat
pembaruan tasawuf, dan menjadi paradigma munculnya gagasan Neo-Sufisme Rahman. Unsur  dasaryang 
harus  diperhatikan  dalam 
mengaktualisasikan  gagasan
Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang
senantiasa  berubah.  Artinya, 
konteks  kehidupan  tasawuf di abad  lalu berbeda 
dengan  konteks  kekinian. Karena masyarakat manusia adalah
realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini  harus disikapi dengan  pola 
yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masakini harus dengan
memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan  sosial 
merupakan  bagian dari
kerberagamaan  para  sufi. 
Tujuan yang dapat  dicapai  tetap 
sama  yaitu ketenangan,  kedamaian dan    kebahagiaan 
intuitif,  kemudian
dilebarkan  bukan  hanya 
untuk  individu  melainkan 
juga  untuk  dan 
dalam bentuk kesalehan sosial. 
[1]Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta : Rajaprasindo,
1995), hlm. vii 
[3]Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Panji Mas, 2007), hlm. 16 
[4]Martin dan Julia, Urban Sufism, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. v 
[5]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (edisi III), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 779 
[7]Fazlur Rahman, Islam, (terjemahan) Ahsin Muhammad, (Jakarta:
Pustaka Bandung, 1984), hlm. 78-79 
[8]Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Konteks Berteologi di Indonesia,  (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 125 
[9]Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, Berpikir Jernih Menemukan
Spiritualitas Positif, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm.
171-172  
[10]Muhammad Ali Sabih, Al-Risalah Al-Qushayriyyah, (Kaherah:
Sharikah Maktabah wa Tatbiqat Mustafa al-Babi 
al-Halabi wa Awladih, tt.), hlm. 138 
[11]Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: RajaPrasindo,
1995), hlm. v 
[12]Nurcholis Majid, Sufisme dan Masa Depan Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 93 
[13]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhol ila Tasawwuf,
(Kaherah: Daar al-Tsaqafah, 1974), hlm. 80-82 
[14]Lihat Qs. Al-‘Araf ayat ke-172: “Dan Ingatlah ketika Tuhan
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbih mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi . (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya
(kami anak-anak Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan).     
[15]Al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, (Kuwait: Daar al-Bayan, 1970),
hlm. 31 
[16]Fazlur Rahman, Islam, 
hlm. 79  
[18]Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid II, (Beirut: Daar
al-Ma’rifah, tt.), hlm. 222 
[19]Hamka, Tasawuf Modern, hlm. 150-174 
[20]Fazlur Rahman, Islam, hlm. 194 
[22]Ahmad al-Qushashi, Al-Simt Al-Majid, (Haiderabad: Da’irat
al-Ma’arif al-Zizamiyyah, tt.), hlm. 119-120 
[23]Said Ramadhan al-Buti, Al-Ruhaniyyah Al-Ijtimaiyyah fi Al-Islam,
(Geneva: Al-Markaz Al-Islami, 1965), hlm. 61 
[25]Nurcholis Majid, Sufisme dan Masa Depan Agama, hlm. 15 
[26]Konsep Makrifat dimasyarakatkan oleh Al-Ghazali, ada yang mengatakan
ini terpengaruh oleh filsfat Gnostisisme Barat. Lihat Fazlur Rahman, Islam,  hlm 189. 
[27]Konsep Kasyf dikenalkan oleh Zunnun al-Misri, yakni terbukanya tabir
antara manusia dengan Tuhan, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam Tasawuf. 
[28]Wahdah al-Wujud, dikonsepsikan oleh Ibnu 'Araby, merupakan
penjelmaan dari Filsafat Monisme yang bertentangan dengan konsep Tauhid dalam
Islam. Lihat Fazlur Rahman, Islam, 
hal 166. 
[29]Ittihad, merupakan salah satu maqam dalam tariqat, adalah kondisi
naik (bersatunya mahluk dengan Allah) menurut istilah para Sufi. Lihat
Ensiklopedi Islam, Juz II, hlm 84.  
[30]Istilah Wali dalam konsep Tarekat
dimaksudkan sebuah atribut seorang yang mendapat kelebihan dan kekhususan.
Tanda - tanda kewalian ini sudah dapat ditentukan. Epietemologi kewalian ini
pada tahap berikutnya membawa konsekwensi adanya silsilah wali, sampai kepada
persoalan siapa sebenarnya yang menjadi Khatamul Auliya (penutup para
wali), yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan Khatamul Anbiya.
Lihat, http://academia-mdz.blogspot.com/pemikiran-tasauf-ibnu-taimiyah.html
[34]Fazlur Rahman, Islam, hlm. 132-133 
