Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara penduduknya mayoritas Islam, secara geografis memang sangat jauh dari tempat asal lahirnya Islam, yaitu Arab Saudi. Hal itu menyebabkan pembahasan mengenai Islam di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri. Terlebih lagi dinamika pemikiran dan intelektualisme di negeri ini juga menunjukkan intensitasnya yang cukup tinggi, belum lagi jika melihat maraknya gerakan keislaman.[1] Kebangkitan Islam yang pada intinya upaya perjuangan menegakkan cita-cita Islam, sebagaimana diakselerasikan pada akhir abad ke-20, secara normatif dipandang akan memberikan kepastian hidup di masa depan. Akan tetapi jika ditelusuri lebih mendalam lagi, kebangkitan agama tersebut akan memunculkan berbagai pertanyaan kembali mengenai keragaman artikulasi keagamaan. Keberagaman tersebut meliputi tataran pikiran, penghayatan, dan aksi serta sitem sosial. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan persoalan keagamaan yang pelik, baik dalam lingkungan internal agama itu sendiri, maupun dalam kaitannya dengan kehidupan yang lebih luas.[2] Dalam intern agama Islam sendiri misalnya muncul aliran pemikiran dan paham yang beragam[3], seperti neo-trasionalisme (neotra), neo-modernisme, post-tradionalisme (postra), post-modernisme, fundamentalisme, dan liberalisme. Munculnya fenomena pemikiran dan paham keislaman yang beragam ini selain menghendaki upaya mengidentifikasi karakteristik, juga perlu dilihat latar belakang timbulnya, dan kaitannya dengan cita-cita Islam.
Dalam membaca pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia hendaknya tidak melupakan aspek kesejarahan. Karena perspektif ini tidak saja menunjukkan silsilah atau isnad dari mana sumber pemikiran itu, tetapi juga memberikan penjelasan secukupnya bahwa pemikiran bagaimanapun tetaplah merupakan pemikiran yang bersifat historis, yang lahir dari latar sosio-politiknya. Dalam kerangka pikir seperti itu, makalah ini akan membahas pemikiran Islam kontemporer yang berkembang di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. Akar Historis
Dinamika Pemikiran Islam di Indonesia
Perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia bisa dikatakan sebagai “perpanjangan
tangan” dari perkembangan pemikiran di negeri asalnya, dan merupakan bagian
dari rentetan sejarah panjang pertumbuhan Islam itu sendiri. Bila melihat jauh
kebelakang, Islam masuk “Indonesia”
sudah dimulai sejak masa awal-awal Islam. Beberapa ‘spekulasi’ teori sejarah
mengatakan Islam sudah masuk sejak abad ke-12 atau 13, ada juga yang mengatakan
sejak abad ke-9, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-8. Yang jelas
beberapa abad setelahnya dinamika pemikiran Islam dan intelektualisme sudah
sedemikian merata. Azra dalam karya Disertasinya[4],
menunjukkan akar-akar pembentukan intelektualisme Islam di negeri ini yang
dapat dilacak jauh ke belakang sejak abad ke-17 dan ke-18. Dinamika itu antara
lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama Nusantara pada jaringan ulama yang
berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama itu
antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068
H/1658 M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf
al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812
M) dan sebagainya. Dari beberapa ‘ulama berpengaruh itu, Azra bahkan
menunjukkan silsilah atau isnad yang hampir tak terputus dengan para
‘ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain dan Kairo. Mereka terlibat jaringan
keilmuan global dengan agenda pembaruan pemikiran Islam, dari apa yang disebut mistiko-filosofis
menjadi bercorak neo-sufisme.[5]
Jaringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad ke-19, saat di mana geneologi intelektual ulama negeri ini mulai kelihatan jelas. Penelitian Karel A. Steenbrink menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, meunasah, dan surau melakukan kajian keislaman dengan pemilihan kitab yang kurang lebih coraknya sama dengan yang berkembang di Timur Tengah. Demikian juga sejumlah ulama yang pemikirannya dikaji, bahkan sejumlah ajaran kejawen, seperti Serat Centini, menunjukkan pengaruh wacana keislaman yang berkembang di negeri asalnya. Berbeda dengan penelitian Azra yang menggambarkan keseragaman pemikiran Islam, penelitian Steenbrink lebih menekankan pada keragaman, mulai ajaran mistik, ajaran local wisdom, sampai yang radikal seperti yang terjadi pada ulama Paderi Minangkabau.[6] Dengan demikian, dalam rentang waktu yang cukup panjang para ulama “Jawi”[7] telah menyerap tradisi Timur Tengah sekaligus mengembangkan wacana keagamaan, baik pada aspek teologi, fikih maupun tasawuf yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai standar keislaman ulama nusantara. Lalu pada paroh kedua abad ke-19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad ke-19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara. Nama-nama yang paling populer mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.[8] Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai “gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.[9] Sekalipun di kemudian hari karya ini menuai banyak kritik,[10] terutama terkait tipologi pemikiran itu, namun yang manarik dari Deliar Noer adalah karakteristik kedua gerakan-pemikiran itu. Gerakan Islam tradisional lebih bercorak kemadzhaban,[11] memandang tradisi, terutama tradisi intelektual imam madzahib sebagai panutan keberagamaan. Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada pandangan dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan dengan kepenganutan kepada kalam Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.[12] Bahkan, yang terakhir ini diperkuat lagi dengan tarekat-tarekat yang pada gilirannya mewarnai komunitas Islam tradisional itu. Sementara gerakan modern becorak rasional, non-madzhab, dan menekankan pada kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Beberapa hal ini dilihat sebagai terpengaruh dari pemikiran purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di satu sisi dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain. Jika yang pertama berfokus pada tema “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” (ruju’ ila al-Quran wa al-sunnah) dan pemurnian dari syirik, bid’ah dan ekspresi-ekspresi keagamaan tradisiona lainnya, maka yang disebut terakhir berusaha mendorong penerimaan rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang dianggap sebagai bagian inheren dari Islam yang murni. Gambaran pemikiran Islam di Indonesia pada abad ke-20 lebih komprehensip diberikan oleh Fauzan Saleh dalam bukunya “Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX”.[13] Dalam karyanya itu, Fauzan memofuskan pembahasannya pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Dan, agar terbebas dari beban tradisi yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai gerakan pembaruan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat zaman. Gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis, telah berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan pembaru dewasa ini. Generasi mutakhir semacam Dr. Amien Rais yang mendapat gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (1995-1998), dan tokoh-tokoh lain, juga melakukan hal yang sama. Sedangkan mengenai perkembangan terkini pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, Fauzan mengangkat karya-karya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, dua tokoh yang sangat menonjol dalam pembentukan wacana keislaman kontemporer. Pada pertengahan dekade 1980-an ada perubahan yang sangat besar dalam hubungan antara umat Islam dan birokrasi pemerintahan. Pada masa itu umat Islam Indonesia mulai memainkan peran lebih besar dalam kemajuan kultural dan ekonomi negeri ini. Pembaruan (pemikiran Islam) corak Harun Nasution dan Nurcholis Madjid ini yang dikenal dengan neo-modernisme Islam.
Jaringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad ke-19, saat di mana geneologi intelektual ulama negeri ini mulai kelihatan jelas. Penelitian Karel A. Steenbrink menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, meunasah, dan surau melakukan kajian keislaman dengan pemilihan kitab yang kurang lebih coraknya sama dengan yang berkembang di Timur Tengah. Demikian juga sejumlah ulama yang pemikirannya dikaji, bahkan sejumlah ajaran kejawen, seperti Serat Centini, menunjukkan pengaruh wacana keislaman yang berkembang di negeri asalnya. Berbeda dengan penelitian Azra yang menggambarkan keseragaman pemikiran Islam, penelitian Steenbrink lebih menekankan pada keragaman, mulai ajaran mistik, ajaran local wisdom, sampai yang radikal seperti yang terjadi pada ulama Paderi Minangkabau.[6] Dengan demikian, dalam rentang waktu yang cukup panjang para ulama “Jawi”[7] telah menyerap tradisi Timur Tengah sekaligus mengembangkan wacana keagamaan, baik pada aspek teologi, fikih maupun tasawuf yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai standar keislaman ulama nusantara. Lalu pada paroh kedua abad ke-19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad ke-19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara. Nama-nama yang paling populer mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.[8] Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai “gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.[9] Sekalipun di kemudian hari karya ini menuai banyak kritik,[10] terutama terkait tipologi pemikiran itu, namun yang manarik dari Deliar Noer adalah karakteristik kedua gerakan-pemikiran itu. Gerakan Islam tradisional lebih bercorak kemadzhaban,[11] memandang tradisi, terutama tradisi intelektual imam madzahib sebagai panutan keberagamaan. Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada pandangan dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan dengan kepenganutan kepada kalam Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.[12] Bahkan, yang terakhir ini diperkuat lagi dengan tarekat-tarekat yang pada gilirannya mewarnai komunitas Islam tradisional itu. Sementara gerakan modern becorak rasional, non-madzhab, dan menekankan pada kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Beberapa hal ini dilihat sebagai terpengaruh dari pemikiran purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di satu sisi dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain. Jika yang pertama berfokus pada tema “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” (ruju’ ila al-Quran wa al-sunnah) dan pemurnian dari syirik, bid’ah dan ekspresi-ekspresi keagamaan tradisiona lainnya, maka yang disebut terakhir berusaha mendorong penerimaan rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat yang dianggap sebagai bagian inheren dari Islam yang murni. Gambaran pemikiran Islam di Indonesia pada abad ke-20 lebih komprehensip diberikan oleh Fauzan Saleh dalam bukunya “Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX”.[13] Dalam karyanya itu, Fauzan memofuskan pembahasannya pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni. Dan, agar terbebas dari beban tradisi yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai gerakan pembaruan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat zaman. Gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis, telah berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan pembaru dewasa ini. Generasi mutakhir semacam Dr. Amien Rais yang mendapat gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (1995-1998), dan tokoh-tokoh lain, juga melakukan hal yang sama. Sedangkan mengenai perkembangan terkini pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, Fauzan mengangkat karya-karya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, dua tokoh yang sangat menonjol dalam pembentukan wacana keislaman kontemporer. Pada pertengahan dekade 1980-an ada perubahan yang sangat besar dalam hubungan antara umat Islam dan birokrasi pemerintahan. Pada masa itu umat Islam Indonesia mulai memainkan peran lebih besar dalam kemajuan kultural dan ekonomi negeri ini. Pembaruan (pemikiran Islam) corak Harun Nasution dan Nurcholis Madjid ini yang dikenal dengan neo-modernisme Islam.
B. Tradisi dan
Modernitas dalam Pemikiran Islam Kontemporer
Dinamika pemikiran Islam di Indonesia belakangan ini, terutama yang
berkembang pada intelektual muda sebenarnya juga berakar dua mainstream
besar pemikiran di atas. Isu yang mereka bawa “tradisi dan modernitas” (al-turâts wa
al-hadâtsah). Isu ini juga tidak bisa dilepaskan dari gelegar pemikiran
yang berkembang di Arab.[14]
Dalam pemikiran Arab kontemporer, kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967
tampaknya sebagai pemicu bagi lahirnya kesadaran baru: bagaimana sebenarnya
tradisi kita, bagaimana sebaiknya membaca tradisi kita dan ada apa dengan
modernitas? “limadza taakhkharal muslimun wa taqaddama ghairuhum”.
Kekalahan tersebut ternyata sangat menentukan sejarah politik dan pemikiran
Arab. Sejak saat itu, isu “tradisi dan modernitas” (al-turâts wa
al-hadâtsah) menjadi isu tersanter dalam pemikiran Arab kontemporer.[15]Apakah
tradisi harus dilihat dengan kacamata modernitas ataukah modernitas harus
dilihat dengan kacamata tradisi atau bisakah keduanya dipadukan? Sama dengan yang terjadi
pada umat Islam pada umumnya, selama ini di Indonesia, tradisi selalu dilihat
dengan kacamata tradisi sebagaimana yang terjadi pada kaum tradisional (salafiyah)
di satu sisi atau tradisi selalu dilihat dengan kacamata modernitas sebagaimana
yang dilakukan kaum reformis pada sisi yang lain. Makanya kaum tradisional
selalu berada pada posisinya yang tradisional itu. Tradisi intelektualisme yang
dikembangkan, model dan corak pendidikan, sampai keberagamaan mereka tidak
pernah terpegaruh oleh hiruk-pikuknya pembaharuan. Ide-ide pembaruan lebih
dipandang sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dari pada untuk diterima. Ini
terjadi pada sebagian besar muslim Indonesia, bahkan juga, yang terjadi pada
umat ini. Kondisi seperti ini tentu menggelisahkan kaum reformis. Mereka
melihat ada ‘penyakit’ yang menjangkiti umat Islam ini. Maka ada yang mengobati
dengan rasionalisasi, purifikasi, neo-modernisasi, bahkan sekularisasi. Sampai saat ini, dua
abad sudah masa modernisasi di dunia Arab-Islam, dan satu abad modernisasi
(pemikiran) Islam di Indonesia, nalar tradisi masih tetaplah tradisional,
sementara upaya modernisasi, termasuk dengan para reformisnya tak
henti-hentinya menuai kritik, terutama dari kalangan muda-menengah. Maka, di sinilah
barangkali ada benarnya juga sebagian pengamat yang mengatakan, modernisasi
Islam itu sebenarnya tidak berhasil. Atau, kalau tetap dikatakan berhasil,
kenyataannya memang masih bersifat elitis. Meminjam kalimat Hasan Hanafi, umat
Islam umumnya lebih merasa at home dengan tradisi ketimbang
modernitas, karena tradisi telah menyatu dalam kesadaran sejak empat belas abad
lalu, sementara modernitas baru datang tidak lebih dari dua ratus
tahun lalu.[16] Artinya, jika dapat
diilustrasikan dalam sebuah gambar maka seperti segitiga sama sisi yang
dipotong garis di tengah; bagian atas, yakni bagian kecil adalah gambaran Islam
modernis yang sudah relatif maju, sedang bagian bawah atau bagian terbesar,
menunjukkan kondisi tradisional. Kalangan muda-menengah sebagaimana disebut
itu, dapat saja lahir dari kelompok reformis,[17]
tetapi umumnya dari kelompok tradisionalis yang merasakan adanya anomali bahkan
krisis dalam pola pikirnya, bahkan barangkali pola keberagamaannya, namun ada
juga yang sejak semula melihat apapun upaya modernisasi itu harus ditolak
karena laisa minna. Terinspirasi
atau bahkan terpengaruh oleh pemikiran Arab kontemporer, seperti Abed al-Jabiri, Arkoun, Syahrur,
Hasan Hanafi, Adonis, dll., berkembang varian-varian pemikiran baru. Umumnya
mereka melihat bahwa turâts adalah prestasi sejarah, sementara hadâtsah
adalah realitas sejarah. Maka tidak bisa menekan turats apalagi menafikannya
hanya demi pembaruan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif
modernis selama ini. Itu pun juga tidak bisa menolak begitu saja apa-apa yang
datang dari ‘perut’ hadâtsah, terutama perkembangan saintek. Karena
sekalipun banyak mengandung kelemahan, karenanya juga dikritik, tetap banyak
memberikan penjelasan atas problem kehidupan, keilmuan, mungkin juga
keberagamaan. Maka
keduanya: turâts dan hadâtsah harus bisa dibaca secara
kreatif, dengan ‘model’ pembacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah). Turâts
tidak hanya dibaca secara harfiah tetapi sampai pada basis pembentuknya untuk
menemukan makna potensial sehingga bisa ditransformasikan di zaman kita. Tidak
sebagaimana perspektif modernisme, apa saja yang datang dari Barat diterima
tanpa kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam pembacaan
kontemporer, Hadâtsah juga harus dibaca secara kritis, dengan kritik,
dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar basis filosofis dan ideologisnya.
Di sinilah peran oksidentalisme sebagai perspektif. Setelah keduanya dibaca
secara kritis-kreatif, lalu terbangun konstruksi pemaknaan yang baru. Model
pembacaan seperti inilah yang disebut dekonstruksi-rekonstruksi, khas pemikiran
kontemporer. Semua ini bisa dilakukan, tentu diawali dengan asumsi bahwa baik turâts
maupun hadâtsah sama-sama bersifat historis, juga satu hal yang tidak
lazim di masa-masa sebelumnya.
C. Varian Pemikiran Islam
Kontemporer di Indonesia
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dinamika pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia ternyata tidak benar-benar bersifat lokal, tetapi memiliki akar yang jauh di negeri asalnya; tanah Arab. Kemunculannya juga tidak tiba-tiba, melalui proses sejarah yang panjang, di situ ada continuity dan change. Ini juga menunjukkan pentingnya menggunakan perspektif sejarah dalam melihat berbagai pemikiran yang berkembang, karena bagaimanapun itu memang merupakan fenomena sejarah. Dan, yang terpenting lagi adalah dinamika pemikiran Islam di Indonesia diwarnai oleh dua arus utama pemikiran yang sudah mengakar pada sejarah umat Islam Indonesia, yaitu pemikiran tradisional dan pemikiran modern atau reformis. Para pengamat dan peneliti pemikiran Islam di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun dari asing umumnya bertitik tolak dari dua kategori dasar “tradisionalis” dan “modernis” dalam memetakan gerakan pemikiran Islam, meskipun dengan penjelasan yang bervariasi. Dari dua pemikiran itu kemudian berkembang varian-varian baru. Dari pemikiran tradisionalis kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalis yang mencoba melakukan pembaruan atas tradisi seperti dilakukan Abdurrahman Wahid, dan post-tradisionalis yang melakukan kritisisme atas tradisi, mengadopsi metode pemikiran modern dengan tetap menggunakan tradisi sebagai basis transformasi. Sementara dari kelompok modernis lahir neo-modernisme yang diwakili tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif yang kemudian bermetamorfosis menjadi pemikiran Islam liberal. Namun pemikiran ini juga memunculkan suatu gerakan Islam yang bercorak fundamentalis. Karakteristik beberapa mode pemikiran tersebut akan dijelaskan secara umum berikut ini:
1.
Neo Tradisionalisme
Di Indonesia, pemikiran neo-tradisionalisme biasanya diidentikkan dengan Gus Dur. Meskipun demikian bukan berarti Gus Dur hanya neotra, karena kenyataanya, ia juga inspirator sekaligus penggiat neo-modernisme, post-tradisionalisme, bahkan ada juga yang mengatakan Islam liberal. Neotra sebagai pemikiran yang bertolak dari tradisi, melihat bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Neoatra cenderung pada kebudayaan lokal di mana Islam berkembang. Kebudayaan Arab juga lokal sehingga Islam Arab semata-mata merupakan ekspresi kebudayaan orang Arab, bukan Islam itu sendiri. Di samping itu, Neotra cenderung berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas sosial.[18] Lebih jauh, neotra melihat bahwa Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan. Alasannya, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Begitu juga dalam hal suksesi kekuasaan, Islam tidak memiliki bentuk tetap. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at (pengangkatan), dan ahli alhalli wal aqdi.[19] Karena itu, dalam hubungan ini pendirian negara Indonesia lebih disebabkan oleh kesadaran berbangsa. Bukan hanya karena faktor ideologi Islam. Ini merupakan kenyataan yang harus diterima secara objektif karena masih dalam kaca mata neotra, kenyataan objektif demikian masih belum seluruhnya dipahami sebagian aktivis pergerakan Islam di Indonesia. Islam sebagai komponen yang membentuk kehidupan bernegara seharusnya berperan secara komplementer bagi komponen-komponen lain. Dengan begitu, Islam tidak berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi dalam kehidupan berbangsa.[20] Untuk itu, umat Islam Indonesia harus dapat menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak perlu dipertentangkan. Apalagi, bila mengingat alasannya bahwa Indonesia merupakan suatu nation yang punya pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal-muasal Islam di Arab Saudi. Karena itu, Gus Dur tidak sependapat kalau proses islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi. Karena hal itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar budaya sendiri. Inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai ”pribumisasi Islam”. Pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau sinkretisme. Sebab, pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi, agar norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh.[21]
2.
Neo-Modernisme
Banyak kalangan sepakat bahwa era tujuh puluhan merupakan gerbang baru pemikiran Islam di Indonesia. Pada era tersebut corak pemikiran keislaman mulai menunjukkan gejala pembaruan yang kenudian dinamakan “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid kemudian dinobatkan sebagai motor penggerak bagi tergulirnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. Neo-modernisme cenderung memposisikan Islam sebagai sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang makin dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni dan tetap berpijak kukuh pada tradisi. Bila berpegang pada kerangka pikir ini, maka wajar jika orang kemudian menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia[22]. Hal ini–antara lain–dapat dirujuk dari kedekatan Rahman dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia, termasuk Syafi’i Ma’arif, sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Jadi wajar jika akhirnya peran Rahman sering dikaitkan sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, pengaruh Rahman juga tidak dinafikan dalam pembentukan wacana pembaruan keislaman di Indonesia.[23] Neo-modernisme Islam dapat diidentifikasi dalam empat hal[24]: pertama, merupakan gerakan kultural-intelektual dalam rangka melakukan rekonstruksi internal pada umat Islam dengan merumuskan kembali warisan Islam secara lebih utuh, komprehensif, kontekstual dan universal. Kedua, neo-modernisme muncul sebagai kelanjutan dari usaha-usaha pembaruan yang telah dilakukan kelompok modernis terdahulu. Ketiga, dalam konteks keindonesiaan, kemunculan gerakan neo-modernisme Islam yang dimotori oleh Cak Nur lebih merupakan kritik sekaligus solusi atas pandangan dua arus utama yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis yang selalu berada dalam pertarungan konseptual yang nyaris tidak pernah usai. Neo-modernisme Islam hadir untuk menawarkan konsep-konsep pemikiran yang melampaui kedua arus utama tersebut. Keempat, kemunculan neo-modernisme Islam di Indonesia yang dimotori Cak Nur itu merupakan wacana awal gerakan modernisasi dalam arti rasionalisasi, yaitu merombak cara kerja lama yang tidak aqliyah. Pembaruan Cak Nur menyentuh wilayah yang luas, baik itu persoalan keagamaan, sosial-politik, bahkan masalah pendidikan.
3.
Post-Tradisionalisme
Istilah postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengamati munculnya gairah baru intelektual di kalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta. Gema dari wacana ini terus meluas terutama setelah LKIS menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategis planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang kemudian menjadi judul buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed al-Jabiri. Dua aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama “Postra”. Wacana postra semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam Jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun 2000. Setelah itu, postra telah benar-benar menjadi wacana publik dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar dan juga liputan media massa.[25] Beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak muda NU yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra. Pertama, faktor perkembangan politik. Faktor ini menjadi penting karena dinamika sejarah NU, baik secara struktural maupun kultural banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor perkembangan politik. Keputusan kembali ke khittah 26 pada 1984 yang sangat dipengaruhi oleh proyek restrukturisasi politik orde baru ternyata mempunyai makna signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social-intellectual movement) di lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang terjadi pada 1998 juga mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat yang antara lain ditandai dengan berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis massa NU, namun di pihak lain sebagian kecil anak muda, terutama yang menjadi aktifis LSM, tetap menjaga jarak dengan kekuatan politik sembari tetap melakukan gerakan sosial-intelektual.
Kedua, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra. Bahkan wacana yang dikembangkan sedikit banyak merupakan tema-tema yang diangkat dan menjadi perbincangan intelektual di kalangan mereka adalah tema-tema sebagaimana terdapat dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad ‘Abed al-Jabiri, dan sebagainya. Post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU dapat dipahami sebagai gerakan “lompat tradisi”. Gerakan ini berangkat dari tradisi yang diasah secara terus menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Dari sini kemudian lahir “loncatan tradisi” menuju pada sebuah tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi memang terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini biasanya diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan terhadap tradisinya sendiri (ego, al-âna) maupun tradisinya orang lain (the others, al-âkhar). Spirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktifitas intelektual komunitas postra adalah semangat untuk terus menerus mempertanyakan kemapanan doktrin dan tradisi, berdasar nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun penerbitan buku dan jurnal. Berbagai bentuk penafsiran atas teks suci, tradisi, dan ideologi yang tidak mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan, apalagi menistakan kemanusiaan, mereka gugat keabsahannya, baik pada tingkat relevansi maupun kemungkinan adanya manipulasi dan politisasi.[26] Satu hal yang perlu dicatat, gerakan intelektual tersebut berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi (turâst) sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitas postra bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi. Dengan demikian, post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis epistimologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.[27]
4. Fundamentalisme
Fenomena fundamentalisme yang tidak hanya dipahami
sebagai sebuah gejala agama, sosial, budaya dan bahkan politik ini, juga dapat
dilihat dalam perspektif kelompok fundamentalisme dalam Islam.[28]
Istilah fundamentalisme Islam, kendati populer di Barat menyusul pecahnya
revolusi Islam di Iran tahun 1978-1979, yang membuktikan kemenangan sejarah
kaum militan Islam atas rezim sekuler, namun istilah ini seringkali digunakan
untuk menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu
tarikan nafas kebangkitan Islam (Islamic revival). Bagi
kelompok ini, dengan memperhatikan beberapa agenda dan aktivitasnya, setidaknya
ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati ulang: pertama, ideologi
gerakan yang direfleksikan dengan jihad untuk membela agama dan mempertahankan
keyakinan agama dengan militansi yang kuat. Kedua, kelompok ini
meniscayakan relasi harmonis antara agama dan negara, dengan mengusung
formalisasi syariat Islam, isu negara Islam, mempertanyakan konsep dan
gerakan gender serta simbol-simbol keagamaan lainnya. Ketiga, Pandangan
yang stigmatis terhadap Barat, terutama Amerika yang tidak hanya dianggap
sebagai monster imperialis tetapi juga sebagai the great satan. Keempat,
mendeklarasikan perang terhadap paham sekuler dan setumpuk “isme” berbau Barat.[29] Kelompok
fundamentalisme keagamaan yang berkeyakinan bahwa Islam mencakup segaka aspek
dan ruang kehidupan (syumul) ini, berupaya bagaimana agar Islam
diwujudkan dalam kehidupan, yang karenanya menuntut struktur dan piranti
kekuasaan yang menjamin terlaksananya Syariat Islam tersebut.
Secara terminologis, fundamentalisme diidentikkan sebagai kelompok Islam tradisionalis, yang secara historis juga disebut sebagai kelompok konservatif, merupakan sebutan lain kelompok revivalis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arab, India dan Afrika.[30] Gerakan ini pada umumnya muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat, kendati dalam gejala serupa ada yang menunjukkan bahwa kasus revivalisme Islam menemukan momentum tepat sebagai respon terhadap merosotnya nilai-nilai agama akibat kultur yang baratsentris.
Secara umum, karakteristik gerakan revivalisme ini adalah : pertama, memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam; kedua, menghimbau umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits serta menghilangkan praktik-praktik takhayul, bid’ah dan khurafat; ketiga, menghimbau umat Islam agar membuang sikap fatalisme; keempat, menghimbau umat Islam untuk melaksanakan pembaruan lewat jihad jika diperlukan.
Gerakan revivalisme ini, pada tahap berikutnya dasar-dasarnya digunakan oleh modernisme klasik yang kemudian direspon oleh gerakan neo-revivalisme. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan Islam dengan Barat, maka gerakan kelompok ini cenderung eksklusif, apologetik dan tidak otentik.[31] PJ. Vatikiotis[32], memberikan illustrasi menarik tentang gejala revivalisme di dunia Islam (kasus di negara-negara seperti; Iraq, Lebanon dan Siria), yang kemunculannya tidak saja berangkat dari faktor internal umat Islam sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor eksternal Islam. Adanya realitas yang paradoksal antara kenyataan masyarakat yang berbasis pada etik Islam dengan elit penguasa yang menerapkan modernitas. Para penguasa terkesan memaksakan bagaimana agar modernitas sebagai sitem politik yang dipilih itu, diberikan legitimasi teologis (dengan bahasa-bahasa agama) agar dapat diterima masyarakat.
Dalam konteks ini, fundamentalisme yang oleh Azyumardi azra[33] diklaim sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme, dalam perjalanannya seringkali menimbulkan kesulitan untuk dibedakan. Bahkan generalisasi yang distortif dan simplifikatif sering terjadi, baik oleh ilmuwan Barat mupun umat Islam sendiri. Fundamentalisme sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme, tidak hanya meningkat intensifikasi keislamannya yang lebih berorientasi ke dalam sebagaima ditemukan dalam gejala revivalisme yang lebih bersifat individual, tetapi juga berorientasi ke luar yang dengan demikian diarahkan sebagai gerakan yang bersifat komunal dan massif. Oleh karena itu, gejala revivalisme terindikasikan tidak hanya dalam peningkatan gejala esoterisme Islam, namun lebih menunjukkan aspek eksoterisme yang dengan demikian sangat menekankan pada aspek kebolehan dan ketidakbolehan berdasarkan batas-batas fiqih. Slogan-slogan yang dikembangkan oleh kelompok ini di antaranya bahwa al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang harus dipahami secara literal; dan al-Qur’an dan al-hadits telah menyediakan seperangkat aturan dan doktrin halal-haram lainnya bagi perilaku individu maupun masyarakat; dan bahwa Islam --tidak sebagaimana agama Kristen yang menyerahkan urusan Tuhan kepada Tuhan dan urusan kaisar kepada kaisar- mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (Islam syumul). Ke-syumulan Islam inilah yang harus dilaksanakan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena inti agama bagi kelompok ini adalah apa yang harus diaplikasikan secara nyata melalui seluruh aspek kehidupan, tidak hanya menyangkut ritualitas seperti shalat, puasa dan sebagainya, namun juga mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Oleh karena itu, terwujudnya lembaga /institusi sosial yang mampu menjamin terlaksanakannya syari’at Islam menjadi wajib diupayakan adanya. Senafas dengan karakteristiknya secara umum yang ortodoks, intoleran dan anti interpretasi, maka mengakibatkan produksi pengetahuan di kalangan kelompok ini cenderung repetitif atas sejumlah ortodoksi Islam, tanpa kreasi dan inovasi yang substantif. Oleh karena itu kelompok ini lebih cenderung mengedepankan ideologi yang apologetis daripada discourse ketika berdialog dengan pihak lain. Akibatnya banyak stigmatisasi bahwa fundamentalisme terwacanakan oleh publik sebagai ekspresi keberagamaan yang patologis.
Kelompok fundamentalisme yang sesungguhnya tidak monolitik, memiliki beberapa kecenderungan, yakni kelompok fundamentalisme yang berupaya menampilkan Islam ramah dan kelompok yang menampilkan Islam keras. Munculnya fenomena gerakan yang berorientasi pada penegakan dan pengamalan Islam yang murni dan otentik sebagaimana dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya ini, memiliki keyakinan kuat bahwa penegakan agama Allah harus dilakukan dengan cara damai. Oleh karena itu, kelompok ini menempuh pola perjuangan kultural dengan membangun dan mendakwahkan aqidah dan akhlak Islam, yang disandarkan pada tekstualitas al-Qur’an dan al-Hadits. Maraknya kelompok pengajian/dzikir/halaqah dan sebagainya, merupakan aksentuasi fundamentalisme kelompok ini. Pemakaian simbol-simbol keagamaan yang didasarkan pada kehidupan Nabi SAW dan salaf al-shalihin seperti memanjangkan janggut, bercelana panjang di atas mata kaki, memakai sorban bagi laki-laki, serta jubah panjang, cadar dan kaos kaki dan atau tangan bagi perempuan, adalah di antara kecenderungan simbolis-formalistis kaum fundamentalisme kontemporer dengan semangat ideologis yang kuat dan bertujuan agar mudah dibedakan dari kelompok Islam lainnya. Oleh karena itu, dari sisi ini saja kelompok fundamentalisme ini terkesan eksklusif.
Sementara bagi kelompok fundamentalisme yang menampilkan Islam sebagai agama keras dapat dilihat pada kecenderungan keagamaan kelompok semisal MMI, KISDI, FPI, kelompok Imam Samudra dan sebagainya yang kendati melakukan pola perjuangan kultural sebagaimana dilakukan kelompok pertama, namun lebih terlihat perjuangan strukturalnya, demi menegakkan Syariat Islam, yang dalam konteks ini, mendasarkan kepada apa yang dalam bahasa Arkoun, bahwa sejarah (yakni masa pemerintahan zaman Rasulullah) telah menjadi ideologi legitimasi.[34]
Secara terminologis, fundamentalisme diidentikkan sebagai kelompok Islam tradisionalis, yang secara historis juga disebut sebagai kelompok konservatif, merupakan sebutan lain kelompok revivalis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arab, India dan Afrika.[30] Gerakan ini pada umumnya muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat, kendati dalam gejala serupa ada yang menunjukkan bahwa kasus revivalisme Islam menemukan momentum tepat sebagai respon terhadap merosotnya nilai-nilai agama akibat kultur yang baratsentris.
Secara umum, karakteristik gerakan revivalisme ini adalah : pertama, memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam; kedua, menghimbau umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits serta menghilangkan praktik-praktik takhayul, bid’ah dan khurafat; ketiga, menghimbau umat Islam agar membuang sikap fatalisme; keempat, menghimbau umat Islam untuk melaksanakan pembaruan lewat jihad jika diperlukan.
Gerakan revivalisme ini, pada tahap berikutnya dasar-dasarnya digunakan oleh modernisme klasik yang kemudian direspon oleh gerakan neo-revivalisme. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan Islam dengan Barat, maka gerakan kelompok ini cenderung eksklusif, apologetik dan tidak otentik.[31] PJ. Vatikiotis[32], memberikan illustrasi menarik tentang gejala revivalisme di dunia Islam (kasus di negara-negara seperti; Iraq, Lebanon dan Siria), yang kemunculannya tidak saja berangkat dari faktor internal umat Islam sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor eksternal Islam. Adanya realitas yang paradoksal antara kenyataan masyarakat yang berbasis pada etik Islam dengan elit penguasa yang menerapkan modernitas. Para penguasa terkesan memaksakan bagaimana agar modernitas sebagai sitem politik yang dipilih itu, diberikan legitimasi teologis (dengan bahasa-bahasa agama) agar dapat diterima masyarakat.
Dalam konteks ini, fundamentalisme yang oleh Azyumardi azra[33] diklaim sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme, dalam perjalanannya seringkali menimbulkan kesulitan untuk dibedakan. Bahkan generalisasi yang distortif dan simplifikatif sering terjadi, baik oleh ilmuwan Barat mupun umat Islam sendiri. Fundamentalisme sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme, tidak hanya meningkat intensifikasi keislamannya yang lebih berorientasi ke dalam sebagaima ditemukan dalam gejala revivalisme yang lebih bersifat individual, tetapi juga berorientasi ke luar yang dengan demikian diarahkan sebagai gerakan yang bersifat komunal dan massif. Oleh karena itu, gejala revivalisme terindikasikan tidak hanya dalam peningkatan gejala esoterisme Islam, namun lebih menunjukkan aspek eksoterisme yang dengan demikian sangat menekankan pada aspek kebolehan dan ketidakbolehan berdasarkan batas-batas fiqih. Slogan-slogan yang dikembangkan oleh kelompok ini di antaranya bahwa al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang harus dipahami secara literal; dan al-Qur’an dan al-hadits telah menyediakan seperangkat aturan dan doktrin halal-haram lainnya bagi perilaku individu maupun masyarakat; dan bahwa Islam --tidak sebagaimana agama Kristen yang menyerahkan urusan Tuhan kepada Tuhan dan urusan kaisar kepada kaisar- mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (Islam syumul). Ke-syumulan Islam inilah yang harus dilaksanakan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena inti agama bagi kelompok ini adalah apa yang harus diaplikasikan secara nyata melalui seluruh aspek kehidupan, tidak hanya menyangkut ritualitas seperti shalat, puasa dan sebagainya, namun juga mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Oleh karena itu, terwujudnya lembaga /institusi sosial yang mampu menjamin terlaksanakannya syari’at Islam menjadi wajib diupayakan adanya. Senafas dengan karakteristiknya secara umum yang ortodoks, intoleran dan anti interpretasi, maka mengakibatkan produksi pengetahuan di kalangan kelompok ini cenderung repetitif atas sejumlah ortodoksi Islam, tanpa kreasi dan inovasi yang substantif. Oleh karena itu kelompok ini lebih cenderung mengedepankan ideologi yang apologetis daripada discourse ketika berdialog dengan pihak lain. Akibatnya banyak stigmatisasi bahwa fundamentalisme terwacanakan oleh publik sebagai ekspresi keberagamaan yang patologis.
Kelompok fundamentalisme yang sesungguhnya tidak monolitik, memiliki beberapa kecenderungan, yakni kelompok fundamentalisme yang berupaya menampilkan Islam ramah dan kelompok yang menampilkan Islam keras. Munculnya fenomena gerakan yang berorientasi pada penegakan dan pengamalan Islam yang murni dan otentik sebagaimana dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya ini, memiliki keyakinan kuat bahwa penegakan agama Allah harus dilakukan dengan cara damai. Oleh karena itu, kelompok ini menempuh pola perjuangan kultural dengan membangun dan mendakwahkan aqidah dan akhlak Islam, yang disandarkan pada tekstualitas al-Qur’an dan al-Hadits. Maraknya kelompok pengajian/dzikir/halaqah dan sebagainya, merupakan aksentuasi fundamentalisme kelompok ini. Pemakaian simbol-simbol keagamaan yang didasarkan pada kehidupan Nabi SAW dan salaf al-shalihin seperti memanjangkan janggut, bercelana panjang di atas mata kaki, memakai sorban bagi laki-laki, serta jubah panjang, cadar dan kaos kaki dan atau tangan bagi perempuan, adalah di antara kecenderungan simbolis-formalistis kaum fundamentalisme kontemporer dengan semangat ideologis yang kuat dan bertujuan agar mudah dibedakan dari kelompok Islam lainnya. Oleh karena itu, dari sisi ini saja kelompok fundamentalisme ini terkesan eksklusif.
Sementara bagi kelompok fundamentalisme yang menampilkan Islam sebagai agama keras dapat dilihat pada kecenderungan keagamaan kelompok semisal MMI, KISDI, FPI, kelompok Imam Samudra dan sebagainya yang kendati melakukan pola perjuangan kultural sebagaimana dilakukan kelompok pertama, namun lebih terlihat perjuangan strukturalnya, demi menegakkan Syariat Islam, yang dalam konteks ini, mendasarkan kepada apa yang dalam bahasa Arkoun, bahwa sejarah (yakni masa pemerintahan zaman Rasulullah) telah menjadi ideologi legitimasi.[34]
5.
Islam liberal
Gerakan pemikiran model neo-modernisme telah mendapat tempat dalam
konstalasi keilmuan Islam di tanah air kurang lebih tiga puluh tahun. Seiring
dengan waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama
dengan “Islam liberal”. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul di saat Greg
Barton menyebutnya dalam buku karangannya: Gagasan Islam Liberal di
Indonesia.[35]
Semenjak itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Sejak
awal 2001, publikasi mazhab pemikiran yang disebut ”Islam liberal” itu memang
tampak digarap sistematis. Pengelolanya menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL). Sebelum lahir JIL,
wacana Islam liberal beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat
terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard
Binder, dan Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman.
Istilah Islam liberal pertama dipopulerkan Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual
muslim India, pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku meminjam istilah itu dari
Fyzee. Geloranya banyak diprakarsai anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Untuk
kasus Jakarta, mereka umumnya para mahasiswa, peneliti, atau jurnalis yang
berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina, Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif
Hidayatullah, atau Institut Studi Arus Informasi.[36] Komunitas itu makin
mengkristal, sehingga pada Maret 2001 mereka mengorganisasikan diri dalam JIL.
Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis).
Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut
51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam
liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi
interaktif dengan para kontributor Islam liberal, lewat kantor berita radio 68 H dan 10 radio jaringannya. Situs: islamlib.com
diluncurkan, dua pekan kemudian. Beberapa nama pemikir muda, seperti Luthfi
Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU),
dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam),
terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib.com,
menyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan
”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai oleh munculnya kelompok
militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi
”Islam militan”, serta penggunaan istilah ”jihad” sebagai dalil serangan.
Gerakan mereka itu lebih agresif dan bahasannya sederhana, sehingga mudah dicerna awam. Jika pandangan mereka dominan, kata Luthfi, bisa menghambat demokratisasi Indonesia dan mempersulit tatanan ko-eksistensi damai antarkelompok beragama. Demokrasi, menurut Luthfi, membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis. Sayangnya, suara kelompok ini makin lirih, karena hanya menjadi konsumsi elite. Bahasannya sulit dicerna awam. Gerakannya kurang greget. Untuk mencegah dominasi kaum militan, harus ada kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-humanis. ”Islam liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks itu,” kata Luthfi.[37] Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. ”Dalam pengertian ini, Islam liberal bukanlah sesuatu yang baru,” katanya. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19. JIL mendaftar 28 orang kontributor domestik dan luar negeri sebagai ”juru kampanye” Islam liberal. Di antara mereka adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Komaruddin Hidayat, dan Rizal Mallarangeng. Beberapa kontributor mancanegara, misalnya, Edward Said (Palestina), Asghar Ali Engineer (Pakistan), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Charles Kurzman (Amerika). JIL menyediakan pentas-berupa koran, radio, booklet dan website- bagi para kontributor itu untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Tema kajiannya berupa soal-soal yang berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Kritik mendasar Islam liberal justru berasal dari ”mitranya”, yaitu komunitas yang menamakan diri ”Post-Tradisionalisme Islam” biasa disingkat Postra. Kalangan ini umumnya berlatar belakang kultur Nahdlatul Ulama. Markasnya di Lakpesdam Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Yogyakarta. Label mereka merujuk pada judul terjemahan buku Muhammad Abed Al-Jabiri, pemikir Maroko, yang diterbitkan LKIS. Rumadi, seorang pejuang Postra, menilai, ada dua kelemahan paradigma Islam liberal. Pertama, kurang empati pada tradisi lokal. Kedua, mengabaikan dinamika spiritualitas. Padahal paham keagamaan yang membebaskan manusia dari belenggu, sekaligus menghargai aspek lokal, akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan.[38]
Gerakan mereka itu lebih agresif dan bahasannya sederhana, sehingga mudah dicerna awam. Jika pandangan mereka dominan, kata Luthfi, bisa menghambat demokratisasi Indonesia dan mempersulit tatanan ko-eksistensi damai antarkelompok beragama. Demokrasi, menurut Luthfi, membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis. Sayangnya, suara kelompok ini makin lirih, karena hanya menjadi konsumsi elite. Bahasannya sulit dicerna awam. Gerakannya kurang greget. Untuk mencegah dominasi kaum militan, harus ada kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-humanis. ”Islam liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks itu,” kata Luthfi.[37] Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. ”Dalam pengertian ini, Islam liberal bukanlah sesuatu yang baru,” katanya. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19. JIL mendaftar 28 orang kontributor domestik dan luar negeri sebagai ”juru kampanye” Islam liberal. Di antara mereka adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Komaruddin Hidayat, dan Rizal Mallarangeng. Beberapa kontributor mancanegara, misalnya, Edward Said (Palestina), Asghar Ali Engineer (Pakistan), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Charles Kurzman (Amerika). JIL menyediakan pentas-berupa koran, radio, booklet dan website- bagi para kontributor itu untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Tema kajiannya berupa soal-soal yang berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Kritik mendasar Islam liberal justru berasal dari ”mitranya”, yaitu komunitas yang menamakan diri ”Post-Tradisionalisme Islam” biasa disingkat Postra. Kalangan ini umumnya berlatar belakang kultur Nahdlatul Ulama. Markasnya di Lakpesdam Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Yogyakarta. Label mereka merujuk pada judul terjemahan buku Muhammad Abed Al-Jabiri, pemikir Maroko, yang diterbitkan LKIS. Rumadi, seorang pejuang Postra, menilai, ada dua kelemahan paradigma Islam liberal. Pertama, kurang empati pada tradisi lokal. Kedua, mengabaikan dinamika spiritualitas. Padahal paham keagamaan yang membebaskan manusia dari belenggu, sekaligus menghargai aspek lokal, akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan.[38]
III. PENUTUP
Gerakan pemikiran Islam kontemporer yang berkembang di Indonesia
tidak bisa dipisahkan dari dua arus utama pemikiran yang telah berkembang lebih
dulu, yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis. Perkembangan itu juga
memiliki akar historis yang saling berkaitan dengan perkembangan pemikiran di
belahan dunia yang lain, terutama di Timur Tengah dan Arab pada umumnya. Dan
juga kondisi sosial-politik di Indonesia, serta situasi sosial-politik global
turut punya andil pula dalam menumbuh-suburkan keragaman pemikiran kontemporer dan
gerakan keislaman tersebut. Keragaman varian
pemikiran dan gerakan keislaman yang berkembang di Indonenesia dewasa ini
secara garis besar dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu neo-tradisionalisme
(neotra), neo-modernisme, post-tradisionalisme, fundamentalisme, dan
liberalisme.
Pertama, Neotra adalah varian pemikiran yang berangkat dari tradisi. Memandang bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Di samping itu, cenderung berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas sosial. Kedua, Neo-modernisme adalah varian pemikiran yang cenderung memposisikan Islam sebagai sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang makin dinamis. Watak pemikirannya bersifat inklusif, moderat, dan pluralis. Watak keagamaannya menghargai perbedaan dalam bingkai pemikiran keislaman yang egaliter, murni dan tetap berpijak kukuh pada tradisi. Ketiga, Post-tradisionalisme varian pemikiran yang berangkat dari tradisi yang diasah secara terus menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Lalu terjadi “loncatan tradisi” menuju pada sebuah tradisi baru yang satu sisi terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini biasanya diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan terhadap tradisinya sendiri (ego) maupun tradisinya orang lain (the others). Keempat, varian fundamentalisme memiliki keyakinan bahwa Islam mencakup segala aspek dan ruang kehidupan secara menyeluruh, dan berusaha agar Islam diwujudkan dalam kehidupan, karena itu menuntut struktur dan piranti kekuasaan yang menjamin terlaksananya Syariat Islam. Karakteristik varian ini adalah; ideologi gerakan yang direfleksikan dengan jihad untuk membela agama dan mempertahankan keyakinan agama dengan militansi yang kuat. Meniscayakan relasi harmonis antara agama dan negara, dengan mengusung formalisasi syariat Islam, isu negara Islam, mempertanyakan konsep dan gerakan gender serta simbol-simbol keagamaan lainnya. Berpandangan stigmatis terhadap Barat. Mendeklarasikan perang terhadap paham sekuler dan segala paham yang berbau Barat. Kelima, liberalisme merupakan varian pemikiran yang lahir sebagai respon atas munculnya varian pemikiran dan gerakan ekstremisme di Indonesia. Kelompok ini cenderung tidak empati terhadap tradisi lokal dan mengabaikan dinamika spritualitas.
Pertama, Neotra adalah varian pemikiran yang berangkat dari tradisi. Memandang bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Di samping itu, cenderung berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas sosial. Kedua, Neo-modernisme adalah varian pemikiran yang cenderung memposisikan Islam sebagai sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang makin dinamis. Watak pemikirannya bersifat inklusif, moderat, dan pluralis. Watak keagamaannya menghargai perbedaan dalam bingkai pemikiran keislaman yang egaliter, murni dan tetap berpijak kukuh pada tradisi. Ketiga, Post-tradisionalisme varian pemikiran yang berangkat dari tradisi yang diasah secara terus menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Lalu terjadi “loncatan tradisi” menuju pada sebuah tradisi baru yang satu sisi terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini biasanya diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan terhadap tradisinya sendiri (ego) maupun tradisinya orang lain (the others). Keempat, varian fundamentalisme memiliki keyakinan bahwa Islam mencakup segala aspek dan ruang kehidupan secara menyeluruh, dan berusaha agar Islam diwujudkan dalam kehidupan, karena itu menuntut struktur dan piranti kekuasaan yang menjamin terlaksananya Syariat Islam. Karakteristik varian ini adalah; ideologi gerakan yang direfleksikan dengan jihad untuk membela agama dan mempertahankan keyakinan agama dengan militansi yang kuat. Meniscayakan relasi harmonis antara agama dan negara, dengan mengusung formalisasi syariat Islam, isu negara Islam, mempertanyakan konsep dan gerakan gender serta simbol-simbol keagamaan lainnya. Berpandangan stigmatis terhadap Barat. Mendeklarasikan perang terhadap paham sekuler dan segala paham yang berbau Barat. Kelima, liberalisme merupakan varian pemikiran yang lahir sebagai respon atas munculnya varian pemikiran dan gerakan ekstremisme di Indonesia. Kelompok ini cenderung tidak empati terhadap tradisi lokal dan mengabaikan dinamika spritualitas.
REFERENSI
A’la, MA., Prof. Dr. Abd. 2009, Dari
Neo-Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Dian Rakyat.
Al-Anshari ,Fauzan 2003. Melawan
Konspirasi JIL, Jakarta: Pustaka al-Furqan.
Assyaukanie, Luthfi A. 1998, Tipologi
dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jakarta: Paramadina.
Aziz, Ahmad Amir 1999, Neo-Modernisme
Islam Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi 1999, Renaisans
Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, Bandung: Rosdakarya.
Azra, Azyumardi, Ulama
Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Keagamaan” dalam Jurnal
Ulumul Quran, volume III no. 3 tahun 1992, p. 76-85.
Azra, Azyumardi 1992, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak
Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi 2003, Surau
Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Azra, Azyumardi 1996. Pergolakan
Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme.
Jakarta: Paramadina.
Al Jabiri, Mohammed Abed 1999, al-Turâts
wa al-Hadâtsah, Bairut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah.
Al-Asmawy, Muhammad Sa’id 1998. Against
Islamic Extremism. Florida: University Press of Florida.
Amstrong, Karen. 2001. A
History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam.
Alih bahasa Zaimul Am, Bandung: Mizan.
Arkoun, Mohammed 2002. Sejarah
Sebagai Ideologi Legitimasi: Pendekatan Perbandingan dalam Konteks Islam dan
Eropa dalam John L. Esposito et.al. Dialektika Peradaban: Modernisme Politik
dan Budaya di Akhir Abad ke-20. Yogyakarta: Qalam.
Berger, Peter L 1994. Langit
Suci : Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES.
Barton, Greg 1999, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan
Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina.
Chouerie, Youssef M. 1990.
Islamic Fundamentalism, Boston: Twayne Publishers.
Hanafi, Hassan 1991, Muqaddimah
fi ‘Ilm al-Istighrab. Cairo: Daar al-Nahdah al-Mishriyah.
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuim
2002. Islam Liberal: Sejarah. Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya,
Jakarta: Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id 1993. Fi Afaq
al-Ta’alim. Alih bahasa Abu Ridha, Jakarta: Al-Ishlahy Press.
Hidayatullah, Syarif 2010. Islam
“Isme-Isme”, Aliran dan paham Islam di Indonesia,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jainuri, Achmad dkk 2003. Terorisme
dan Fundamentalisme Agama. Malang: Bayumedia.
Kasdi, Abdurrahman.
Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi
Agama” dalam Taswirul Afkar : Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan
Kebudayaan, Edisi No. 13 tahun 2002 (Jakarta: LAKPESDAM, 2002).
Kepel,Gilles 1997. The
Revenge of God: the Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in the Modern
World. Alih bahasa Masdar Hilmy, Bandung: Pustaka Hidayah.
Noer, Deliar 1980, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.
Nata, MA., Dr. H. Abuddin 2001, Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf 1993. Nahwa
Wahdah Fikriyah li al-‘Amilin li al-Islam. Alih bahasa Ali
Makhtum Assalamy, Jakarta; Gema Insani Press.
Rahman, Zaini,
“Post-Tradisionalisme Islam: Epistemologi Peloncat Tangga” dalam Bulletin
Wacana Postra, edisi Perkenalan, Nopember, 2001.
Ridwan, Nur Khaliq 2003. Detik-detik
Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme
Pembebasan.Yogyakarta: Ar-Ruzz Books Gallery.
Rahmat, M. Imdadun 2002. Arus
Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia,
Jakarta: Erlangga.
Saleh, Fauzan 2004, Teologi
Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta:
Serambi.
Steenbrink, Karel A. 1984, Beberapa
Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang.
Sayyid, Bobby S. A 1997. Fundamental
Fear: Eurocenrism and the Emergence of Islamism, London & New
York: Zed Books Ltd.
Zada, Hamami 2002. Islam
Radika: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta:
Teraju.
http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=372.
[1]Mark Woodward misalnya mengidentifikasi menjadi lima kelompok, yaitu
indigenized Islam, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama, Islam
modernis seperti Muhammadiyah, Islamisme atau aktivisme Islam,dan
neo-modernisme Islam. Lihat http://misbachudin84.blogspot.com/2010/03/sebuah
perkembangan pemikiran.
[2]Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 5-7.
[3]Abuddin Nata mengidentifikasi ada 12 corak pemikiran Islam di
Indonesia, yaitu Islam fundamentalis, Islam teologis-normatif, Islam eksklusif,
Islam rasional, Islam transformatif, Islam aktual, Islam kontekstual, Islam
esoteris, Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam kultural, dan Islam
inklusif-pluralis. Lebih rinci baca, Peta Keragaman Pemikiran Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001).
[4]Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 294
[6]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 32
[7]Kata “ulama Jawi” sebenarnya tidak selalu merujuk pada Jawa. Namun
dalam konteks ini, kata tersebut merujuk kepada ulama nusantara yang hidup dan
bermukim di Haramain. Makna demikian juga tercermin dalam buku yang ditulis
oleh Mohd. Bin Nor Ngah, Kitab Jawi: Islamic Thought of the Malay Muslim
Scolars, (Singapore: ISEAS: 1983). Lihat http://misbachudin84.blogspot.com/2010/03/sebuah
perkembangan pemikiran.
[8]Lihat Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya
1999), hlm. 143-161
[9]Lebih jauh lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 114
[10]Hingga kini, banyak kritik dialamatkan pada tipologi Deliar ini yang
dianggap sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Meski demikian harus
diakui, sebagai sebuah teori, kategori tersebut mempunyai pengaruh yang luar
biasa baik dalam dunia akademik, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Belakangan, kategori tersebut tidak lagi menjadi standar akademik semata-mata,
tapi sudah menjadi klaim “identitas kelompok”, bahkan di dalamnya ada muatan
“ideologi-ideologi” tertentu untuk mengecilkan arti dan peran kelompok satu di
atas yang lain. Kecenderungan demikian memang tidak cukup sehat baik dalam
konteks akademis maupun kehidupan masyarakat secara umum.
[11]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hlm. 320.
[12]Azyumardi Azra, Surau Pendidikan
Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2003), hlm. 147
[13]Asalnya disertasi di Mc-Gill University,
Montreal, Kanada yang berjudul The Development of Islamic Theological Discourse
in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain
Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia. Atas saran dan dukungan Prof
Howard M Federspiel, selaku promotor, disertasi tersebut diterbitkan di Belanda
dengan judul: Modern Trends in Islamic Theological Discourse in the
Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden, Boston an Koln:
Bril, 2001). Pada 2004 berhasil diterbitkan di Indonesia dengan judul Teologi
Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta:
Serambi, 2004).
[14]Istilah “tradisi dan modernitas” yang digunakan dalam diskursus
pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma idiomatik yang bervariasi,
biasanya digunakan al-turâts wa al-hadâtsah (Mohammed Abed Jabiri).
Secara literal, turâts berarti warisan atau peninggalan (heritage,
legacy), yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh
orang-orang terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk
asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur
bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-’adah
(kebiasaan), ‘urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun
mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan
istilah turâts. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak
ada variabel yang tepat. Menurut Jabiri, kata legacy dan heritage
dalam bahasa Inggris, atau patrimonie dan legs dalam bahasa
Perancis tidak mewakili apa yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turâts.
Lihat M. Abed Jabiri, “Al-Turats wa al-Musykil al-Manhaj,” dalam
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/Postmodernisme.
[15]Mohammed Abed al-Jabiri, al-Turâts wa al-Hadâtsah, (Bairut:
Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. II, 1999), hlm. 15-19. Lihat juga
artikel Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paramadina
(Jakarta), vol. 1, no 1, Juli Desember 1998.
[16]Lihat dalam
http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=372.
[17]Bandingkan dengan Muhammadiyah yang
mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan sebagai
konsekuensi menolak bermadzhab, sehingga mengalami keterputusan
(diskontinuitas) jalur intelektualnya. Oleh karena itu, tradisi intelektual
Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salâf al-sâlih), sedikit
dari Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab,
Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah
menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader
Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra. Lihat
http//:misbachuddin84.blogspot.com/pemikiran.html.
[18]Lihat
http//www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=372
[19]Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam
Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 41
[22]Lihat Abd. A’la, Dari Neo-Modernisme Ke Islam Liberal,
(Jakarta: Dian Rakyat, 2009).
[23]Bandingkan dengan pernyataan Azyumardi Azra; ”meskipun kemunculan
gerakan pembaruan di Indonesia tidak
dapat dikatakan dipengaruhi secara langsung oleh pemikiran neo-modernisme
Rahman, namun kemampuannya dalam memberikan pertimbangan telah mengubah sikap
Cak Nur untuk memilih Islamic Studies daripada Political Science
yang semula jadi pilihannya menjadi titik awal untuk menemukan adanya pengaruh
itu. Pengantar Azra, lihat Abd. A’la, Dari Neo-Modernisme….., hlm.
xii
[24]http//:misbachuddin84.blogspot.com/pemikiran.html.
[25]Lihat misalnya Majalah Tempo, edisi 19-25 November 2001 dalam rubrik
agama.
[26]Atas dasar itu mereka selalu menaruh curiga
atas berbagai narasi besar, baik yang diproduksi melalui tradisi, ideologi,
maupun wacana keagamaan. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya ingin melakukan
monopoli atas kebenaran. Ideologi-ideologi besar dunia, bahkan juga tafsir
dominan atas agama sebenarnya juga ingin memonopoli kebenaran. Atas dasar itu,
mereka menolak segala bentuk penunggalan itu, karena “penunggalan” tidak akan
mampu menyelesaikan persoalan. Lihat Syarif Hidayatullah, Islam “Isme-Isme”,
Aliran dan paham Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 66-72.
[27]Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam:
Epistimologi Peloncat Tangga” dalam Bulletin Wacana Postra, edisi Perkenalan,
Nopember, 2001, hlm. 59.
[28]Tidak semua penulis sepakat dengan
penggunaan terma fundamentalisme sebagai kata yang menunjuk kepada gerakan yang
mengupayakan penggunaan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai marja’
dan sumber yang fundamental dalam agama murni. Al-Asmawy misalnya
menyebutnya sebagai extrimisme Islam, dengan menunjukkan beberapa gejalanya
yang disertai dengan kekerasan. Lihat Muhammad Sa’id al-Asmawy. Against
Islamic Extremism. (Florida: University Press of Florida, 1998), hlm. 25.
Sebutan sama juga digunakan oleh Mohammed Abid al-Jabiri. Lee Kwan
Yew, Mahatir Mohammad dan Adam Schwarz menyebutnya sebagai Islam militan. Robert
W. Hefner menyebutnya sebagai Islam anti-liberal. Wiliiam Liddle dengan istilah
Islam skripturalis. Sementara cendekiawan muslim di Indonesia, seperti
Azyumardi Azra dan Syafii Maarif serta pengamat Horace M. Kallen menggunakan
terma Islam radikal untuk melabeli gerakan fundamentalisme Islam yang
akhir-akhir ini menunjukkan gejala kekerasan yang meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Lihat Hamami Zada. Islam Radikal : Pergulatan
Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 15-16.
[29]Abdurrahman Kasdi. Fundamentalisme Islam
Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama” dalam Taswirul
Afkar : Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 13
tahun 2002, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), hlm. 23-24.
[30]John L. Esposito menyebutkan beberapa
contoh era revivalisme Islam yang demonstratif dengan menunjuk daftar panjang
kasus di Sudan, Malaysia, Post Revolusi Iran, Pakistan, Bangladesh,
Mesir dan Libya. Bahkan Bobby S. Sayyid menambah catatan panjang demonstrasi
kelompok ini dalam kasus perang sipil di Algeria dan aktivitas HAMAS di
Palestina menghadapi pendudukan Israel. Lihat Bobby S. Sayyid. A Fundamental
Fear: Eurocenrism and the Emergence of Islamism, (London & New
York: Zed Books Ltd, 1997), hlm. 7.
[31]Berbagai gerakan revivalisme terjadi baik
di era pra modern, era modern dan bahkan era kontemporer. Gerakan revivalisme
pra moderrn misalya dapat dilihat wahabisme yang terinspirasi gagasan
pembaharuan Ibnu Taymiyah, Di Nigeria Utara dibawah pimpinan Syaikh Usman dan
Fodio (1754-1817, di Afrika Barat di bawah kendali al-Hajj Umar Tal (1794-1865)
yag kemudian menyebar hingga Sinegal, Guinea dan Mali, di Anak Benua India atas
motor Syah Waliyullah (1703-1762) dan Syaikh
Ahmad Syahid (1786-1831), hingga Gerakan Paderi di Ranah Minang. Semua gerakan
revivalisme di atas dipicu oleh adanya faktor internal berupa penyelewengan
ajaran Islam, sehingga mereka berkepentingan untuk meluruskan dan memurnikan
ajaran agama yang telah dipenuhi penyakit tahayul, bid’ah dan khurafat..
Eksplorasi lebih jauh mengenai gerakan revivalisme ini bisa dilihat dalam
Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,
Hingga Post-Modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996).
[32]Lihat http//www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=372
[33]Azyumardi Azra. Pergolakan Politik, hlm. 107.
[34]Mohammed Arkoun. Sejarah Sebagai Ideologi
Legitimasi: Pendekatan Perbandingan dalam Konteks Islam dan Eropa dalam
John L. Esposito et.al. Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya
di Akhir Abad ke-20. (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 31.
[35]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran
Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman
Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999).
[36]http://umum.kompasiana.com/postmodernisme.