Senin, 21 April 2014

NEO-SUFISME



PEMIKIRAN NEO-SUFISME
Oleh: Otoman
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.

Abstract:
Neo-Sufism can be regarded as a reaffirmation effort Islamic values ​​kaffah ( intact ), namely life tawazun ( berkeseimbangan ) in all aspects of life and in terms of human expression. Neo-Sufism has prompted the opening of opportunities for the appreciation of religious significance and its practice is more intact and not limited to just one aspect, but balanced. Supposedly every Muslim should recognize and realize the importance of the spiritual in Islam, but also keep in mind that the Quran states this is the real world not a mirage, nor maya without meaning. In principle Neo-Sufism has three things: First, al-Quran and al-Hadith. Second, make the Holy Prophet and salafi generation as a role model. Third, tawazun ( principle balance ) in Islam. The third principle is then supported by some anomaly in a fundamental reconstruction of Sufism and Sufi discourse formulation for the development of the concept of Neo-Sufism. Reconstruction and dynamics that include substantial essence of Sufism or ontological dimension, in this case related to three important things, which is substantially and methodologically, what is the source and means of acquisition (epistimologisnya aspects), as well as the function of Sufism, or axiological aspect. Thus, this article will discuss the nature of Neo-Sufism and thoughts related to the reconstruction effort, formulation and dynamic discourse of Sufism in the development of the concept.
Keywords: Thoughts and Neo-Sufism

PENDAHULUAN
Kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan agar lebih bermakna dalam artian yang luas. Petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Quran dan  al-hadits, tampak ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, mengembangkan kepedulian sosial, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap positif lainnya.
Namun kenyataannya umat Islam  jauh dari cita ideal tersebut. Dalam  perjalanan  sejarahnya, antara kedua dimensi penghayatan  keagamaan tersebut sempat menimbulkan konflik antara  ahli  tasawuf dan ahli  fikih, konflik  antara  ahli  hakikat  dan  ahli  syariat,  konflik  antara  penganut  ajaran  esoterik dan  penganjur ajaran eksoterik atau  antara golongan  Islam ortodoks dengan  golongan  Islam  heterodoks.  Hal ini  terjadi  terutama pada abad  III  H.[1] Selanjutnya  dengan  semakin  berkembangnya  tasawuf  pada saat itu, lahirlah dua corak pemikiran tasawuf, yaitu corak tasawuf yang materi dasarnya bersandar pada al-Quran dan al-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas. Sementara  corak  yang  lain  adalah  tasawuf  yang  materi  dasarnya  banyak  bersumber dari  filsafat.                    
Melihat kondisi seperti ini, tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba  memformulasikan tasawufnya  yang  sengaja  dirancang  guna  rekonsiliasi sufistik antara berbagai  disiplin  keislaman  dan  lembaga   tasawuf yang semakin senjang. Namun  usaha  ini  belum  mampu  mengembalikan  misi  dan  pesan  dasar tasawuf secara  total  sebagai  pendorong   gerakan moral  dan   ruh   Islam  yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi  spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual, selalu mempraktekkan sikap uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia.[2] Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial. Maka terjadilah ketimpangan, yang mana penekanan pada aspek esoteris semata membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, yang didapat hanya kesalehan individual semata, bukan kesalehan sosial. Menurut Hamka, hal ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dikarenakan cukup lama menjauhi dunia, ketika hendak berkurban, tidak ada yang hendak dikurbankan, berzakat juga tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan. Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia.[3]      
Menghadapi realitas ini, pada awal abad XX, lahir pemikiran baru yang menginginkan tasawuf tidak berpola seperti yang telah diuraikan di atas, dalam pandangan mereka tasawuf harus positif dalam memandang kehidupan dunia, tidak boleh menjauhinya dan justru harus berperan aktif di dalamnya. Pemikiran ini terinspiratif dari ulama besar Abad Pertengahan Ibnu Taimiyah yang telah secara intens memberikan perhatian terhadap permasalahan umat dan agama, termasuk di dalamnya masalah tasawuf. Lalu dipopulerkan Rahman dengan istilah Neo-Sufisme. Gejala ini juga bisa dikatakan sebagai pembaruan dalam dunia sufisme, menurut Azra hal ini terjadi akibat berbagai permasalahan agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang kompleks. Selain itu keadaan ekonomi yang mapan mendorong umat Islam tidak hanya beribadah namun mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spritualitas yang intens dan hanya didapat dari sufisme yang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.[4] Dengan demikian perlu diketengahkan dalam tulisan ini mengenai konsep Neo-Sufisme, sebab ide terpenting dari Neo-Sufisme adalah tawazun atau keseimbangan, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.

PEMBAHASAN

Pengertian Neo-Sufisme
Istilah neo-sufisme terdiri dari dua kata neo dan sufisme. Neo berarti sesuatu yang baru atau yang diperbarui.[5] Sedangkan sufisme berarti nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam agama Islam.[6] Dengan demikian, neo-sufisme dapat diartikan bentuk baru sufisme atau pembaruan sufisme dalam Islam. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme adalah Reformed Sufism, sufisme yang telah diperbarui.[7] Neo-sufisme secara singkat dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi ekspresi kemanusiaan.[8] Dengan alasan ini pula dapat dikatakan, bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepatnya dikatakan sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan kondisi kekinian. Seperti apa yang dikemukakan Burhani, Neo-Sufisme dalam terminologi Fazlur Rahman atau tasawuf modern dalam terminologi Hamka berusaha tetap mempertahankan hasil-hasil positif dari modernisme dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat padanya. Ia berpegang pada pepatah khudz ma shafa, da’ ma kadara (ambil yang baik dan buang yang buruk). Atau dalam istilah ushul al fiqh dirumuskan dengan al-muhafadzah ‘ala al- qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah (mengadopsi hasil-hasil capaian generasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik.[9]    

Sekilas tentang Perjalanan Tasawuf
Menurut para peneliti, disiplin tasawuf muncul dalam Islam di sekitar abad ke-3 Hijrah atau abad ke-9 Masehi.[10] Ia adalah lanjutan daripada kehidupan keberagamaan yang bersifat zahid dan ‘abid di sekitar serambi Masjid Nabawi pada ketika itu. Kebanyakan pengkaji sufisme berpendapat bahwa sufi dan sufisme disamakan dengan sekelompok Muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al-Ghiffari. Mereka ini menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah SWT. Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebahagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebut tasawuf atau sufisme. Fase awal ini disebut sebagai fase zuhud (asceticism) yang merupakan bibit awal kemunculan sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga kehidupan keseharian lebih tertumpu kepada aspek ibadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Kondisi ini juga muncul akibat reaksi keras terhadap sikap para fuqaha yang sangat menekankan aspek hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga mengarahkan umatnya pada pemujaan terhadap hukum sebagai ekspresi Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya hukum hanyalah berkaitan dengan  perbuatan eksternal manusia dari masyarakat. Sehingga pergerakan sufi pada awalnya yang hanya menekankan kepada manusia akan pentingnya furifikasi spritual dan dimensi moral, berubah menjadi metode komunikasi dengan Tuhan bersifat esoterik. Hal ini menjadikan sufisme menjadi semacam “lawan” terhadap kaidah hukum dan fikih yang begitu formal dan gersang.[11] Bagi Islam memungkinkan pengamalan agama secara eksoterik dan esoterik sekaligus karena Islam adalah agama yang kaffah. Walaupun tekanan yang berlebihan kepada salah satunya akan mengganggu prinsip tawazun dalam Islam yaitu melahirkan ketidakseimbangan, namun pada kenyataannya dalam realita umat Islam hal ini terjadi.[12]                                
Pada perkembangan sufisme selanjutnya, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan yang harus dilalui oleh seorang sufi, yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu yaitu al-ahwal. Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta batasannya hingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam pada itu juga, muncul para tokoh tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan dengan adanya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dzawq dan al-kasyf.[13]
Sejak kemunculan doktrin al-fana’ dan al-ittihad, maka terjadilah perselisihan pendapat terhadap tujuan akhir sufisme. Jika pada mulanya sufisme bertujuan suci dan murni yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga dapat ‘berkomunikasi’ dengan-Nya, maka selanjutnya tujuan itu terus berkembang kepada derajat ‘penyatuan diri’ dengan Tuhan. Konsep ini berasaskan kepada paradigma bahwa manusia yang hidup secara biologis merupakan sejenis makhluk yang mampu melakukan suatu transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi`raj) spiritual ke alam ketuhanan. Dengan adanya world view terhadap konsep seperti itu, maka muncul pula konflik dalam kalangan para fuqaha (ahli hukum) dan para teologis dengan kaum sufi. Mereka (fuqaha dan teologis) menuduh ahli-ahli sufi sebagai perusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun apabila dikaji lebih mendalam konflik tersebut bukanlah bersumberkan dari pemikiran sufisme, akan tetapi di sana terdapat unsur-unsur terhadap kepentingan politik dalam diri masing-masing.
Dengan adanya kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai Ilahiyah menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rohani selain juga makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia memerlukan hal-hal yang bersifat kebendaan, namun sebagai makhluk rohani ia memerlukan hal-hal yang bersifat kerohanian. Hal ini sesuai dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek kerohanian, maka manusia itu pada dasarnya cenderung untuk hidup secara bertasawuf atau dengan perkataan lain, bertasawuf merupakan fitrah hidup manusia. Berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam ajaran tasawuf mengatakan bahawa selagi manusia masih dibelenggu dengan kungkungan jasmani dan kebendaan, maka selagi itu pula ia tidak bertemu dengan nilai-nilai rohani yang dicari. Dengan demikian, seorang hamba itu perlu berusaha melepaskan rohani dari kungkungan jasmaninya. Maka, dia perlu melalui jalan riyadhah (latihan) yang memerlukan waktu yang cukup lama. Riyadhah atau latihan ini juga bertujuan untuk mendidik rohaninya agar senantiasa dalam keadaan suci dan bersih. Hal ini disebabkan oleh naluri manusia senantiasa berusaha untuk mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, hal ini tidak dapat dilalui hanya dengan mempergunakan ilmu pengetahuan saja,  karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan kehampaan jika bergantung kepada ilmu kebendaan saja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanyalah dengan iman yang kuat dan perasan hidup yang aman bersama Allah SWT. Oleh karena kecenderungan manusia itu ingin selalu berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka segala perbuatan yang menyimpang daripadanya merupakan penyimpangan dan melawan fitrahnya.
         Pada prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah diciptakan Allah pada diri manusia yang merupakan kehidupan yang hakiki. Sebagaimana yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam ruh sebagaimana telah dinyatakan dalam al-Qur’an.[14] Pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah SWT. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang terjadi terhadap kehidupan manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh perputaran baik atau buruk yang berperan dalam membentuk kepribadian seseorang manusia. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang senantiasa ‘mendambakan’ diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Sebab kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah SWT. yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mana kejadian asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan.

Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme di atas, maka dalam perkembangan tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa, antara lain dipengaruhi pelbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di-back up ulama moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang mengemukakan pengalaman ekstasi-fana’nya dan ucapan-ucapan syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat al-Wujud atau Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya. Oleh karena itu, wajar apabila melalui penekanan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian pada aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini dinamakan sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat, hakekat dan makrifat yang terpadu secara utuh.
Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan terpadu antara syariat dan tasawuf.. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami syariat, tetapi untuk dapat memahami syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat. Tarekat merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.[15] Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun usaha al-Ghazali harus diakui sebagai inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun mempunyai beberapa kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.                      
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekonstruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[16] Istilah Neo-Sufisme sebagaimana diungkapkan sebelumnya berasal dari pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[17] Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadi perbincangan yang luas di kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf modern dalam bukunya Tasawuf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam masalah‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat[18], maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.[19]
Adapun konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial. Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu Neo-Sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan dari penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi yang merupakan produk dari era modernisme. Modernisme dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu, banyak orang yang ingin kembali kepada nilai-nilai keagamaan, sebab salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporer seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam. Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini, yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Sufisme yang berkembang belakangan ini (pasca-modernisme) membangun kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang kesemuanya terdapat dalam Neo-Sufisme.

Karakteristik Neo-Sufisme
Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstasik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini hal itu digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-Sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan pada sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan Neo-Sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadits[20]. Mereka ini mencoba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan Neo-Sufisme cenderung pada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian yang sama terhadap kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi[21]. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan adanya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis. Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahwa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat[22]. Begitu pula Sa‘id Ramadan al-Buti mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Dia adalah penggerak konsep neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah  tawazun, yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.[23]         
Ada dua hal yang menjadi ciri utama Neo-Sufisme yang dikehendaki Ibnu Taymiyah, Pertama, Tauhid, dalam arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia, termasuk juga faham kultus yang dipraktekkan oleh banyak kalangan. Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama. Tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain-betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya dengan Tuhan- dalam bentuk taqlid buta.[24]
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahwa Neo-Sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh, yaitu kehidupan yang seimbang dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala aspek ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut Neo-Sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktekkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini. Dengan mengutip sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa Neo-Sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan.[25] Neo-Sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja tetapi yang lebih penting adalah tawazun ( keseimbangan).

Pokok-Pokok Pemikiran Neo-Sufisme
1.     Ibn Taimiyyah
Mengenai pokok-pokok pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf, sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi inti pemikirannya. Yaitu tentang Keabsahan tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran (Sufisme), serta praktek-praktek tasawuf dan tarekat yang berkembang waktu itu. Pertama, Tentang keabsahan Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifat, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran.[26]
Menurutnya, tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggungjawabkan.[27] Meskipun ia mengakui keabsahan metode eksperimental tasawuf, tapi ia menyarankan agar Tasawuf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. Satu hal yang menurutnya amat membahayakan adalah konsep Wahdah al-wujud, yang cenderung mengaburkan perbedaan antara khalik dengan mahluk.[28]
Ekses dari konsep tersebut ternyata banyak disalahgunakan, misalnya, bila seseorang (Wali, Syaikh) telah mengganggap dirinya sampai pada tingkat ittihad, maka ia berada di luar batas-batas ketentuan Syariah.[29] Terhadap ini, ia mengemukakan beberapa konsep kunci, antara lain tentang wali.[30] Baginya kewalian bukan sesuatu yang tetap, tetapi relatif. Seseorang yang dekat dengan Allah, karena ketaatan dan kesuciannya, akan mengantarkannya pada kedudukan wali. Kebalikannya adalah bila seseorang berbuat maksiat, sesuatu yang dilarang dalam agama, maka orang tersebut dapat kehilangan kedudukannya sebagai wali (kekasih Allah).
Kedua, tentang praktek Tasawuf (Tarekat). Antara lain ia mengakui bahwa wali mempunyai karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada Allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapa pun jua. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah.
Menurutnya taqarrub kepada Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalan-amalan wajib maupun sunnah. Mengenai cinta pada Allah, ia memberikan konsep adanya beberapa tingkatan cinta, mulai dari Hubungan hati, curahan hati, pengorbanan, rasa rindu, dan terakhir adalah penghambaan. Untuk mendapatkan cinta Allah, maka jalan satu-satunya adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Di sinilah letak arti pentingnya jihad sebagai konsekwensi cinta Allah. Dalam kaitan ini ia mengemukakan adanya mahabbah yang sesat, yakni dengan menghilangkan kewajiban ubudiyah, serta meminta sesuatu pada Allah yang tidak layak.
Dalam kerangka pembersihan jiwa, maka cara yang ampuh adalah dengan menundukkan pandangan (fungsi pengekangan), serta menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Mengenai Fana', Ia mengatakan bahwa fenomena fana' yang sering dialami oleh syekh-syekh tarekat, bukan sesuatu yang dibutuhkan. Secara khusus tentang kematian Al-Khallaj di tiang gantungan, ia memberikan komentar yang berbeda dengan ulama pada umumnya. Di antaranya ia mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa al-Hallaj adalah salah. Kemungkinan hakim hanya melihat yang lahir saja. Seringkali prilaku yang lahir ternyata bukan hakekat yang sebenarnya. Terhadap konflik antara kaum sufi dengan kaum fiqh, ia berpendapat bahwa bilamana pendekatan tasawuf dan pendekatan hukum menghasilkan kesimpulan yang sama, maka kesimpulan tersebut patut diikuti, tetapi bilamana di antara keduanya terdapat perbedaan, maka tidak boleh salah satu pihak mengatakan bahwa dirinya lebih berhak untuk diikuti.[31] Mengenai Hulul, ia berpendapat bahwa kepercayaan tentang hulul (bersemayamnya Allah pada diri manusia) adalah kafir, sebagaimana orang Nasrani meyakini Allah bersemayam pada diri Isa al-Masih. Menurutnya, orang-orang beriman itu mengetahui bahwa Allah adalah pengatur segala sesuatu. Dia jauh berbeda dengan mahluk. Dia tidak berpadu dengan mahluk, tidak juga bersatu dengan mahluk. Wujud Allah bukan wujud mahluk itu sendiri. 
2.     Fazlur Rahman
Untuk melacak Pemikiran Rahman di bidang tasawuf, dapat diketahui dari pandangannya tentang perjalanan spiritual dalam Islam. Baginya spiritualisme itu telah ada semenjak Nabi Muhammad saw, dan  ia  sebagai  penunjang  misi  kenabian  dan  kerasulannya,  namun  para  sahabat tidak   mempersoalkannya,  sebab   mereka   dituntut   melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Pengalaman spiritual dianggapnya  sebagai  kekhususannya. Dalam perkembangan selanjutnya,  penanaman  taat  terhadap  hukum  Tuhan, lama-kelamaan menjadi tahapan khusus interiorisasi dan introspeksi motif moral, hal inilah  yang  menjadi  landasan  kehidupan  asketisme  Islam  yang  berkembang  dengan pesat pada abad VII dan VIII M.[32]
Praktek  tersebut  mendapat  dorongan  kuat  dari  realitas  sosial,  ekonomi  dan keberagamaan   masyarakat,   khususnya   penguasa   Dinasti   Umayyah,   maka   ada sekelompok  yang  rupanya  meningkatkan  kesalehannya  secara  individual.  Dengan demikian   gerakan   ini   adalah   murni   etis   dengan   pendalaman   motif   etis.   Juga didorong  oleh  adanya  fenomena  isolasi  politik,  agar  umat  terlepas  dari  percaturan politik dan kenegaraan serta umat secara keseluruhan, bahkan sampai pada anjuran untuk uzlah ke gua, ditambah lagi reaksi terhadap formalisme dan legalisme dalam Islam.[33]
Kehidupan  asketisme  merupakan  awal  kehidupan  tasawuf  yang  merupakan reaksi  atau  protes  moral  spiritual  dari  keadaan  pada  waktu  itu[34],  yang  akhirnya  membawa  sikap  isolasi para  sufi  terhadap  dunia,  dan sikap  sinisme  politik  akan  menimbulkan  pesimisme.  Rahman  sangat  tidak  sepakat dengan   model   kehidupan   yang   demikian   tersebut   dan   keduanya   bertentangan dengan  ajaran  al-Quran,  sebab  yang  utama  dalam  al-Quran  adalah  imlpementasi aktual  dari  citra  moral  secara  realistik  dalam  suatu  konteks  sosial[35]. Justifikasi   para  sufi   dengan  kehidupan  Nabi   tidak  bisa   diartikan penolakan  Beliau  terhadap  dunia,  akan  tetapi  sekedar  menunjukkan  kesederhanaan Nabi.   Sebab   bagaimanapun   juga   penolakan   secara   ekstrim   terhadap   kehidupan duniawi adalah salah dan hal demikian sangat asing bagi Nabi SAW sendiri.
Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para sahabat ada yang mengalami  ektase-ektase  seperti  Abu  Yazid  al-Busthami,  Ibn  Arabi,  al-Hallaj  dan sebagainya. Pada dasarnya gerakan asketisme ini adalah sebuah gerakan moral yang menandaskan  betapa pentingnya usaha-usaha  interiorisasi,  pendalaman dan penyucian   terhadap motif moral dan memperjuangkan kepada umat  manusia  mengenai  tanggung  jawab  yang  maha  berat  yang  dibebankan  dalam  hidup  ini  ke atas pundak manusia. Inilah yang sebetulnya model gerakan yang didukung oleh al-Quran dan al-Hadits Nabi saw.
Namun  dalam  prakteknya,  Rahman  tidak  sependapat  dengan  pandangan  para tokoh   tasawuf   falsafi,   yang   menurutnya   mereka   telah   melakukan   "penambahan" dalam   agama.   Karena   ektase   (fana'   diri)   yang   dijalaninya   telah   menyebabkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau perjalanan manusia menuju Khaliknya. Penolakan  Rahman  tersebut  berdasarkann pada perilaku Rasulullah.   Menurutnya,  seandainya   ekstase   diri   para   sufi   itu   dianggap   sebagai religious   experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya. Tetapi  pengalaman  asketisme  bukan  sebagai  titik  akhir  apalagi  mengisolasikan  diri dari   kehidupan  duniawi,   melainkan  tampil  dalam   bentuk  social  movement  atau gerakan sosial. Sebab kesucian seseorang  bukan karena  keterasingannya  dari  dunia dan   proses   sosial,   namun   harus berada di  dalamnya  dalam  bentuk gerakan menciptakan sejarah. Dan demikian itulah yang sebetulnya menjadi tujuan utama, al-Quran; yaitu  tegaknya  sebuah  tata  sosial  yang  bermoral,  adil  dan  dapat  survive  di muka  bumi.  Konsep  taqwa  hanya  memiliki  arti  dalam  konteks  sosialnya.[36].  Konteks  sosial-historis  kemanusiaan,  memberikan  tanggapan kritis  dan  pemikiran  alternatif  untuk  keberadaannya  khususnya  menghadapi  masa depan.  Selain  itu  dikaitkannya  dengan  berbagai  bidang  keislaman  seperti  teologi, fiqh, politik, dan doktrin-doktrin ortodok Islam secara kontekstual-sosiologis.
Paradigma di atas kalau dicermati lebi dalam, maka sesungguhnya gagasan Neo-Sufisme   Fazlur   Rahman   tersebut   dilatar   belakangi   oleh   beberapa   anomali   atau problemeatika yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad III H. Anomali   tersebut   adalah   pertama,  anomali   teologis   yang   berhubungan   dengan pengalaman ekstasik-fana' dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak  ditandai  oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, seperti  Hulul,  wahdat  al-  wujud,  ittihad  dan  sebagainya,  kedua,  anomali  non-formalistik  yang  berhubungan dengan  dasar  praktek-aplikatif tasawuf  yang  tidak  bersandar  pada  normativitas  al- Quran  dan  al-Sunnah,  dan  ketiga,  anomali  holistika, yang berhubungan dengan aspek  aksiologis  (implementasi)  tasawuf  dimana  para  sufisme  lebih  memilih  sikap isolasi dari kehidupan dengan melakukan kontemplasi dan uzlah dan tidak mau aktif dalam praksis kemasyarakatan.
Maka    dengan    demikian    Neo-Sufisme    Fazlur    Rahman    dengan    kerangka pemikiran  back  to  Qur'an  and  Sunnah  yang  begitu  kuat,  akan  melahirkan  alternatif kehidupan sufistik di  masa  sekarang  sesuai dengan tantangan zaman yang  semakin  berkembang.  Neo-Sufisme   yang   telah   dikonstruk Rahman  dapat  dikategorikan  sebagai  tasawuf  model  salafi.  Sebuah  model tasawuf  yang  secara  epistimologis  berdasarkan  acuan  normatif  al-Quran  dan  al- Sunnah,   menjadikan   Nabi   dan   para   salaf   al-shalihin   sebagai   panutan   dalam aplikasinya   yang   tidak   berlebih-lebihan   dalam   menjalankan   proses   spiritualisasi ketuhanannya   dengan   mengeliminir   unsur   mistik-metafisik   dan   asketik   dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin   yang   bernuansa   salaf   yang   quranik-normatif   namun   tidak   elitis-ekslusif. Doktrin ini dimaksudkan untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial  kemasyarakatan.  Hal ini dilakukan  karena  berbagai  anomali  atau  problem (teologis,  normative  dan  sosiologis)  yang  berkembang  di  tubuh  tasawuf  kala  itu harus diperbarui agar  tasawuf   sebagai   bagian   dari   keislaman   dapat memberikan  kontribusi  positif-konstruktif  terhadap  kehidupan  masyarakat  muslim dalam berbagai bidang kehidupannya.
Telaah  metodologis  Neo-Sufisme  Fazlur  Rahman  di  atas,  membawa  kita  pada visi  baru  tentang  tasawuf  sebagai  produk  sejarah  masa  lalu  yang  bermakna  ganda.[37] Pertama adalah mengembalikannya  pada bentuk keberagamaan  masa  Rasulullah  namun dengan  tetap  menerima  peranan  tasawuf dalam  mendekati   Tuhan. Makna   yang   kedua   adalah   mengembangkan  potensi tasawuf  untuk  menawarkan  pemecahan praktis masalah kemanusiaan abad modern dengan memanfaatkan   pengalaman  intuitif. Dalam   hal   ini   tasawuf   didudukkan sebagai proses peningkatan kualitas keberagamaan atau meminjam rumusan Abu al- Wafa  menunjuk  pada  filsafat  dan  cara  hidup  untuk  memperoleh  keutamaan  moral, irfan sufi dan kebahagiaan spiritual. 
Unsur dasar  yang menjadi perhatian  utama  visi  ini  adalah  sifat  kehidupan  manusia  yang  senantiasa  berubah.  Artinya,  konteks  kehidupan  tasawuf  di abad  lalu berbeda  dengan  konteks  kekinian.  Karena  masyarakat  manusia  adalah  realitas  yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini harus disikapi dengan  pola  yang  baru  pula.  Tasawuf  yang  dipraktekkan  masakini  harus  dengan memperhatikan  bahwa  masalah  kemanusiaan  dalam  kehidupan  sosial  merupakan bagian  dari  kerberagamaan  para  sufi.  Tujuan  yang  dapat  dicapai  tetap  sama  yaitu ketenangan,  kedamaian  dan  kebahagiaan  intuitif,  kemudian  dilebarkan  bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial.
Puncak   pengalaman   intuitif   yang   diburu   oleh   para   sufi   dan   perkumpulan tarekat,   harus   tetap   dalam   kesadaran  bahwa   pengalaman  fana'   dan  baqa'   yang  menjadi  peluangnya  tidak  berlangsung  selamanya,  melainkan  temporer.  Jika  hal  ini dipahami  sebagai  pengalaman  yang  berlangsung  kontinyu,  maka  akan  mematikan  fungsi tubuh untuk melakukan kewajiban agama. Lebih dari itu, puncak pengalaman yang   diburu   itu   adalah   ahwal   yang   diperoleh   sufi   bukan   atas   dasar   karyanya melainkan  semata-mata  anugerah  dari  Allah  SWT.  Tahap  kesadaran  sufi  pada  fana' dan baqa' tidak selamanya harus berakhir pada penghayatan "diri" Tuhan. Syihab al- Din  Suhrawardi  al-Maqtul  mengemukakan  teori  yang  sangat  menarik[38].  Menurut  pendapatnya,  fana'  adalah  tahap  pengalaman  sufi  ketika  Tuhan menguasai  dan  meliputinya  sehingga  kesadaran  diri  yang  terbatas  itu  lebur  dalam keberadaan-Nya.  Akan  tetapi  dalam  pengalaman  ini  sufi  masih  memiliki  kesadaran akan  kedudukannya  di  hadapan  Tuhan  dan  dunia  sekitarnya.  Pemenuhan  kewajiban kepada Tuhan tidak melupakan kewajibannya terhadap dunia.
Pemikiran   Suhrawardi   ini   benar-benar   menyadarkan   akan   potensi   tasawuf untuk memiliki  penghayatan yang utuh, keberadaan Tuhan dan  menghayati pelaksanaan  petunjuknya di dunia termasuk menghayati manusia. Sebagai suatu kesadaran,   pengalaman sufi masih   memiliki   potensi  aktif   terhadap   dunia  di sekitarnya.  Setiap  kesadaran  manusia sesungguhnya  memiliki  dua  sisi,  yaitu  aktif dan fasif, sisi aktifnya berkaitan dengan bentuk kegiatannya dalam kehidupan sosial. Bahkan  lebih  dari  itu,  tingkat  pengalaman  tasawuf  yang  dimiliki  akan  merupakan kunci kualitas perilakunya sebagai aktualisasi dari sisi aktif tersebut.
Dengan   demikian,   tampilan   empiris   seorang   Neo-Sufis   menuju   kedekatan dengan  Allah  SWT  dapat  dilakukan  di  tengah-tengah  kesibukan  dunia  modern.  Ia adalah  seorang  mukmin,  namun  sekaligus  seorang  wiraswasta,  birokrat,  teknolog, bankir  atau  bahkan  seorang  akuntan  yang  senantiasa  menjadikan  "tuts"  komputer sebagai   "tasbih"   pemujian   asma   Allah.   Atas   dasar   persepsi   bahwa   zahid   tidak berbeda  dengan  sufi,   maka   ia   dapat   melakukan   riyadhah   (latihan   rohani)   dalam konteks   kesibukannya  sebagai  orang modern. Kelebihan   dari   sosok   praktek   ini adalah  masing-masing individu mencapai peningkatan spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan  utamanya  adalah  memperoleh  pengalaman  fana'  dan  baqa'  di  sisi-Nya.  Ia memang  berpeluang  untuk  memperoleh  pengalaman  ma'rifat  dalam  terminologi Imam   al-Ghazali,   akan   tetapi,   persepsinya   bahwa   pola   pengalaman   keberadaan Tuhan  yang  terkait  dengan  mengalami  pelaksanaan  perintah-Nya dalam  kehidupan  sosial   ini   akan   membangkitkan   semangat   sufinya   untuk   membangun   dunia   di sekitarnya.  Sufi  jenis  ini  mungkin  sekali  seorang  jutawan,  namun  kenyatannya  itu tidak  menjerat  hatinya  untuk  tetap  berupaya  mencari  kedekatan  dengan  Alah  SWT yang sebenarnya menjadi tujuan dirinya.
Profil  pengamal  Neo-Sufisme  atau  yang  dikenal  dengan  sufisme  baru  tersebut di  atas tidak  semata-mata  berakhir  pada  kesalehan  individual  melainkan  berupaya untuk  membangun  kesalehan  sosial  bagi  masyarakat  di  sekitarnya.  Mereka  tidak hanya   bermaksud    memburu    surga    bagi    dirinya    sendiri  dalam   keterasingan, melainkan  justru  membangun  surga  untuk  orang  banyak  dalam  kehidupan  sosial. Makna  yang  dapat  diperoleh  dari  pemahaman  ini  adalah  alternatif  pengembangan tasawuf  untuk  menghayati  keberadaan  Tuhan  menuju  pada  pengamalan  perintah- Nya dalam pola tasawuf sosial.


PENUTUP

Neo sufisme secara singkat dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi ekspresi kemanusiaan. Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja, tetapi seimbang. Setiap muslim harus mengakui dan menyadari betapa pentingnya spiritual dalam Islam, tetapi juga harus diingat bahwa al-Quran menyatakan dunia ini adalah nyata bukan fatamorgana, bukan pula maya tanpa makna. Dari banyaknya ayat al-Quran yang beriringan antara iman-amal salih dan hari akhir merupakan isyarat yang tegas yang menunjukan formulasi kesatuan dimensi spiritual dan dimensi aktivitas nyata dalam kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepatnya dikatakan sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai kondisi kekinian.       
Pada prinsipnya Neo-Sufisme berasaskan tiga hal;  (1) al-Quran dan  al-Hadits,   (2) menjadikan Nabi saw dan generasi salafi sebagai panutan, dan (3) prinsip tawazun dalam Islam. Ketiga prinsip itu  yang kemudian ditopang oleh beberapa  anomali dalam  tasawuf menjadi dasar rekonstuksi  Rahman terhadap formulasi wacana tasawuf guna pengembangan konsep Neo-Sufisme. Rekonstruksi dan dinamisasi itu meliputi: (a) Hakekat  substansial tasawuf  atau  dimensi  ontoligisnya,  berhubungan dengan dua  hal penting: pertama Secara substansial, tasawuf adalah perpanjangan tangan dari ajaran Islam itu sendiri yang menekankan  pembentukan  moralitas,  tekun beribadah  dan  tidak  tenggelam  dalam  glamoritas  dan  kenikmatan jasmani-duniawi. Kedua Secara metodologis, tasawuf merupakan bentuk ijtihad  terutama bidang  amalan  batin  yang  keberadaannya sepadan dengan bidang-bidang keagamaan Islam lain. (b) Sumber dan perolehannya (aspek epistimologisnya), yang menekankan bahwa  wacana  tasawuf  dan  praktek-aplikatifnya  harus  berasal/diambil dari sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah), demikian pula dalam rangka mendalami dimensi sufistik dan memperoleh  pengetahuan  (tujuan)  spiritual  harus  tetap  dalam  kontrol kedua sumber pokok tersebut, serta  praktek-praktek  kesufian-spiritual generasi  salafi.  Hanya  dengan  berpatokan pada dua  dasar dan salafiyyin itulah sufisme dapat dianggap sah. (c) Fungsi tasawuf, atau aspek aksiologis, yang menekankan kegunaan dan manfaat tasawuf yang harus ditujukan untuk pengkayaan penghayatan ajaran Tuhan, yang berimplikasi pada pembentukan moralitas individual dan sosial baik kultural maupun strukturalnya secara inklusif. Sebaliknya penghayatan spiritual tersebut tidak diarahkan pada eksistensi Tuhan yang spekulatif-mistik yang berimplikasi pada eksklusifme dan stagnan. Dengan  formulasi  wacana  tasawuf  tersebut  maka  tasawuf  dalam term Neo-Sufisme adalah tasawuf Salafi, yang secara lebih khusus memiliki ciri khas puritanis, aktifis dan populis. Model tasawuf  tersebut  dalam perkembangannya melahirkan semangat pembaruan tasawuf, dan menjadi paradigma munculnya gagasan Neo-Sufisme Rahman. Unsur  dasaryang  harus  diperhatikan  dalam  mengaktualisasikan  gagasan Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa  berubah.  Artinya,  konteks  kehidupan  tasawuf di abad  lalu berbeda  dengan  konteks  kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini  harus disikapi dengan  pola  yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masakini harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan  sosial  merupakan  bagian dari kerberagamaan  para  sufi.  Tujuan yang dapat  dicapai  tetap  sama  yaitu ketenangan,  kedamaian dan    kebahagiaan  intuitif,  kemudian dilebarkan  bukan  hanya  untuk  individu  melainkan  juga  untuk  dan  dalam bentuk kesalehan sosial.


[1]Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta : Rajaprasindo, 1995), hlm. vii
[3]Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Panji Mas, 2007), hlm. 16
[4]Martin dan Julia, Urban Sufism, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. v
[5]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (edisi III), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 779
[6]Ibid., hlm. 1097
[7]Fazlur Rahman, Islam, (terjemahan) Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 78-79
[8]Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Konteks Berteologi di Indonesia,  (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 125
[9]Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 171-172 
[10]Muhammad Ali Sabih, Al-Risalah Al-Qushayriyyah, (Kaherah: Sharikah Maktabah wa Tatbiqat Mustafa al-Babi  al-Halabi wa Awladih, tt.), hlm. 138
[11]Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: RajaPrasindo, 1995), hlm. v
[12]Nurcholis Majid, Sufisme dan Masa Depan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 93
[13]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhol ila Tasawwuf, (Kaherah: Daar al-Tsaqafah, 1974), hlm. 80-82 
[14]Lihat Qs. Al-‘Araf ayat ke-172: “Dan Ingatlah ketika Tuhan mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbih mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi . (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya (kami anak-anak Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).    
[15]Al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, (Kuwait: Daar al-Bayan, 1970), hlm. 31
[16]Fazlur Rahman, Islam,  hlm. 79 
[17]Ibid., hlm. 193-194
[18]Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid II, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, tt.), hlm. 222
[19]Hamka, Tasawuf Modern, hlm. 150-174
[20]Fazlur Rahman, Islam, hlm. 194
[21]Ibid., hlm. 195
[22]Ahmad al-Qushashi, Al-Simt Al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma’arif al-Zizamiyyah, tt.), hlm. 119-120
[23]Said Ramadhan al-Buti, Al-Ruhaniyyah Al-Ijtimaiyyah fi Al-Islam, (Geneva: Al-Markaz Al-Islami, 1965), hlm. 61 
[25]Nurcholis Majid, Sufisme dan Masa Depan Agama, hlm. 15
[26]Konsep Makrifat dimasyarakatkan oleh Al-Ghazali, ada yang mengatakan ini terpengaruh oleh filsfat Gnostisisme Barat. Lihat Fazlur Rahman, Islam,  hlm 189.
[27]Konsep Kasyf dikenalkan oleh Zunnun al-Misri, yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam Tasawuf.
[28]Wahdah al-Wujud, dikonsepsikan oleh Ibnu 'Araby, merupakan penjelmaan dari Filsafat Monisme yang bertentangan dengan konsep Tauhid dalam Islam. Lihat Fazlur Rahman, Islam,  hal 166.
[29]Ittihad, merupakan salah satu maqam dalam tariqat, adalah kondisi naik (bersatunya mahluk dengan Allah) menurut istilah para Sufi. Lihat Ensiklopedi Islam, Juz II, hlm 84. 
[30]Istilah Wali dalam konsep Tarekat dimaksudkan sebuah atribut seorang yang mendapat kelebihan dan kekhususan. Tanda - tanda kewalian ini sudah dapat ditentukan. Epietemologi kewalian ini pada tahap berikutnya membawa konsekwensi adanya silsilah wali, sampai kepada persoalan siapa sebenarnya yang menjadi Khatamul Auliya (penutup para wali), yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan Khatamul Anbiya. Lihat, http://academia-mdz.blogspot.com/pemikiran-tasauf-ibnu-taimiyah.html

[33]Ibid.
[34]Fazlur Rahman, Islam, hlm. 132-133
[35]Ibid., hlm. 163-164
[36]Ibid., hlm. 54
[38]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar