Selasa, 12 November 2013

Historiografi Cina, Jepang, Afrika dan Eropa



HISTORIOGRAFI CINA, JEPANG, AFRIKA DAN EROPA

I.    PENDAHULUAN
Setiap kebudayaan berlangsung di dalam rentang waktu, dan di dalamnya selalu terjadi perubahan, yang mana hidup dan kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru. Di sana senantiasa terjadi pembentukan, penciptaan kembali dan pembaruan. Karena setiap kebudayaan selalu mempunyai gambaran angan-angan tertentu mengenai masa silamnya sendiri.
 Bentuk ini, dalam suatu sejarah atau kebudayaan tertentu tertuangkan, sebagian tergantung dari sifat kebudayaan itu, dan sebagian lagi dari derajat perkembangannya. Mitos-mitos, cerita-cerita patriotisme, geneologi, kronik dan annal adalah di antara bentuk-bentuk sejarah.
Ada ungkapan yang menyatakan, bahwa kebudayaan yang terbatas akan menghasilkan sejarah yang terbatas, sebaliknya kebudayaan yang luas akan menghasilkan sejarah yang luas pula[1]. Berkaitan dengan hal ini, setiap bangsa yang ada di muka bumi akan mencerminkan hal itu dalam sejarahnya masing-masing, tidak terkecuali Cina, Jepang, Afrika dan Eropa. Dengan demikian, makalah ini perlu mengungkap tentang historiografi masing-masing negara itu sebagai sebuah upaya memberikan informasi awal mengenai permasalahan tersebut.     
II. PEMBAHASAN
A.    Historiografi Cina
Cina merupakan suatu bangsa yang memiliki sejarah tertua yang tidak terputus di dunia. Pada mulanya sejarah Cina merupakan perpaduan antara cara-cara magico-religio dengan penyimpanan catatan. Hal ini mempunyai akibat sangat besar terhadap tradisi sejarah di negeri Cina[2].  Seperti Kaisar Kuning (Huang Ti), untuk pertama kali melakukan penunjukkan sejarawan- sejarawan istana. Huang Ti merupakan salah satu pembentuk legendaris kebudayaan Cina[3].
Mengenai Dinasti Shang (1751-1111 sM), arkeologi modern membuktikkan bahwa peramal istana dinasti Shang, telah menyimpan “arsip-arsip” ramalan mereka yang dituliskan pada tulang dan batok kura-kura. Masa awal dinasti Chuo (1111-221 sM). Catatan terpisah-pisah, terutama bab tertentu dari Shu Ching atau “Sejarah Klasik” mencerminkan suatu minat yang terus- menerus pada sejarah keturunan para raja, tata cara dan legitimasi politik. Zaman negara-negara berperang (Chan Kuo, 481-221 sM), untuk pertama kalinya muncul pemikiran-pemikiran Cina yang sistematis. Kebiasaan yang selalu mengambil tokoh-tokoh sejarah merupakan faktor penting dalam pemikiran Cina.[4]
Confusius (551-479 sM) dan para pengikutnya sangat menekankan inti moral sejarah. Negara kesatuan yang terbentuk pada tahun 221 sM, merupakan model perkembangan politik Cina pada masa-masa kemudian. Istana meneruskan dan mengembangkan tradisi masa lalu dalam hal memperkerjakan sejarawan yang diberi tugas memelihara catatan-catatan kegiatan kaisar dan segala macam kejadian penting di dalam kerajaan.[5]
Masa dinasti Han awal (Ch’ien Han, 206 sM-9 sM). Sejarawan agung Ma-ch’ien  menulis Shih Chi, kitab sejarah pertama yang memuat sejarah Cina dari zaman yang samar-samar sampai pada kira-kira tahun 100 sM.  Masa dinasti Han Kemudian (Hou Han, 25-220 M). Pan Ku, sejarawan istana, menulis kitab sejarah yang merupakan buku pertama dari rangkaian “sejarah dinasti” (tuan-tai shih). Buku ini diberi nama Sejarah Dinasti Han Awal (Ch’ien Han Shu). Buku Shih Chi dan Ch’ien Han Shu menjadi model yang ditiru para sejarawan lainnya untuk penulisan buku-buku sejarah dinasti pada masa kemudian.[6]
Zaman Perpecahan (220-589 sM), dominasi bangsa ‘barbar’. Budhisme perlahan merembes ke dalam pemikiran bangsa Cina, namun demikian Budhisme hanya berpengaruh sangat kecil terhadap pemikiran kesejarahan Cina. Masa awal zaman ini merupakan zaman besar kedua pemikiran kreatif Cina. Liu Hsieh (9465-522 SM), menulis sebuah buku besar mengenai kesusasteraan. Sebagian buku ini membahas pula berbagai masalah historiografi yaitu pentingnya prinsip-prinsip umum, batasan-batasan untuk memilih hal-hal khusus, ukuran untuk mempercayai materi, serta persoalan keobyektifan dan prasangka.[7]
Dinasti Tang (618-906) Zaman keemasan kesenian dan kesusasteraan. Untuk pertama kalinya sejarah menjadi bahan baku dalam kurikulum ujian negara. Seorang pejabat negara Tu Yu (735-812) berusaha membebaskan diri dari tradisi-tradisi catatan dinasti dan menulis T’ung Tien  berbentuk ensiklopedia dan dianggap sebagai sejarah institusional Cina yang pertama. Pada masa awal Tang diadakan perluasan atas aparat birokrasi yang bertugas mencatat peristiwa-peristiwa, memproses dokumen, memelihara arsip dan menulis sejarah.  Dalam menyusun sejarah dinasti, komisi-komisi kekaisaran telah menggantikan pengarang perseorangan. Gejala ini mengawali adanya pembagian historiografi resmi dan tidak resmi yang terus berlangsung sampai berakhirnya sistem kekaisaran.[8]
Masa Sung (960-1279). Penulisan sejarah para neo-Confusianisme memperlihatkan suatu kecermatan baru dalam menulis sejarah, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber tak resmi dan usaha keras untuk menerangkan secara rasional yang dikombinasikan dengan kepercayaan kuat akan kekuatan moral. Seorang sejarawan besar pada masa ini adalah Su Ma-kuang (1019-1089), karyanya yang terkenal Tzu-chih t’ung-chien merupakan sejarah Cina dari tahun 403 sM. hingga tahun 959 M. diatur berdasarkan tahun, dan disajikan dengan jelas.[9]
Masa Dinasti Manchu (Ching, 1644-1911). Pada masa ini muncul perasaan yang tidak puas atas kekolotan neo-Confusianisme, yang menyebabkan timbulnya suatu gerakan kritik yang sangat penting, yaitu empirisme-rasional menjadi inspirasi lahirnya prinsip dan metode baru dalam geografis-historis, epigrafi, ilmu purbakala dan bidang-bidang lain.[10] Ketika sistem kekaisaran runtuh, metode dan semangat keraguan sejarawan pun tergambar secara luas dalam modernisasi historiografi Cina.
1. Pandangan Orang Cina Tentang Sejarah.
Istilah shih (sejarah) dalam terminologi Cina memiliki bermacam-macam arti. Konsepsi Cina mengenai sejarah ditentukan oleh unsur-unsur tertentu dalam pandangan orang Cina mengenai dunia. Adapun unsur-unsur penentu itu adalah; etnosentris, holisme, pandangan bahwa sejarah adalah tanggung jawab yang berasal dari zaman keemasan, konsep siklus dalam sejarah politik, dan pandangan bahwa ada dinamika moral dalam berbagai kegiatan manusia[11]
2. Bidang dan Tujuan Historiografi
Tujuan penulisan sejarah terikat dengan keinginan kelas pejabat negara pada umumnya, yaitu memelihara stabilitas dan ketentraman dengan cara menjalankan pemerintahan dan menegakkan pengawasan sosial, memelihara kekolotan Confusianis, memelihara etika-etika dasar Confusianis dalam masyarakat, pada bidang  kesusasteraan dan kesenian, serta melindungi kedudukan golongan literati dan gentry dari ancaman kaisar yang otokratis atau golongan yang haus kekuasaan.
Ruang lingkup penulisan sejarah Cina berkisar pada beberapa hal yang erat kaitannya dengan penulisan sejarah itu sendiri, yaitu pemusatan perhatian yang besar terhadap sejarah politik dan pelajaran mengenai stabilitas dan perubahan, sejarah pranata, bagian ekonomi (fungsi reguler pemerintahan), geografi (sekarang dinamakan geografi administratif), biografi, sedikit perhatian terhadap kelompok-kelompok yang berlawanan dengan golongan literati, dan sedikit tentang agama-agama yang dianggap murtad.
3. Metode Sejarah
Metode yang digunakan sejarawan Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok[12]; pertama, metode pencatatan kejadian-kejadian komtemporer. Para sejarawan istana bertugas mencatat setiap hari segala peristiwa istana. Sejarawan tak resmi, mencatat peritiwa-peristiwa yang dialaminya. Kedua, metode kompilasi (pengumpulan dan penyusunan) berdasarkan urutan waktu dari setiap catatan-catatan peristiwa. Dari masa ke masa sejarawan istana mengedit dan mengambil intisari catatan sehari-hari seta menyusunnya berdasarkan urutan waktu (kronologis). Hal serupa juga dilakukan oleh sejarawan tak resmi.
4. Modernisasi Historiografi
Historiografi tradisional Cina yang telah berlangsung kurang lebih 1000 tahun terhenti karena adanya beberapa hal yang mempengaruhi perkembangannya, yaitu terjadinya fase-fase runtuhnya sistem kekaisaran di Cina dan masuknya pengaruh Barat[13].
Gerakan pembaharuan sejarah Cina, mulai nampak pada gerakan 4 Mei 1919 M. yang dimotori para sejarawan muda yang telah dipengaruhi oleh pikiran Barat. Banyak di antara mereka pernah belajar di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Gerakan ini pada dasarnya mencari suatu kebudayaan baru Cina yang dapat diterapkan  pada kebutuhan masyarkat modern. Pada masa ini buku-buku klasik tidak lagi dipandang sesuatu yang suci, dan secara teliti mulai diselidiki kembali keasliannya sehingga dapat dipercaya sebagai dokumen sejarah. Dengan menggunakan teknik-teknik penelitian lapangan yang berasal dari Barat dalam mempelajari kehidupan desa, cara pemujaan populer dan folklore.[14]
Semua temuan dipergunakan untuk lebih mengetahui kebudayaan tradisional populer. Di samping itu digunakan pula metode perbandingan dan meninggalkan kebiasaan lama sejarawan kuno. Usaha-usaha pembaharuan itu telah menghasilkan penemuan-penemuan baru dan cara baru untuk mengetahui kehidupan pada masa lalu melalui peninggalan-peninggalan kuno. Dengan demikian sejarah analitis yang didasarkan pada hipotesa-hipotesa telah menggantikan cara-cara kompilasi yang telah menjadi tradisi kuno.
Tahun 1930-1945 menjadi masa suram bagi sejarah Cina akibat dari serangan Jepang. Pada tahun 1945-1949, pemerintah nasionalis bersikap tidak toleran terhadap pendapat yang berbeda, sehingga keadaan menjadi tegang dan penindasan makin banyak terjadi. Tahun 1949 para sejarawan harus memilih untuk tinggal di Cina atau menyingkir ke Taiwan. Akan tetapi kebanyakan dari mereka memilih tetap tinggal di Cina. Setelah tahun 1949 ada dua pusat penelitian sejarah yaitu Republik Rakyat Cina (RRC) dan Republik Cina di Taiwan.[15]
Sejak tahun 1949 sejarawan RRC selalu dipaksa pemerintah komunis untuk menyempurnakan penguasaan atas Marxisme dan menggunakan teori-teori Marxis guna memunculkan sejarah baru dengan segera, yang cocok dengan pemerintahan itu. Pada umunya alasan-alasan dogmatik telah mengakibatkan studi sejarah di Cina menjadi steril. Di Taiwan, Acamedica Sinica dihidupkan kembali. Universitas Nasional Taiwan mempunyai fakultas sejarah, dengan demikian terbitan terdahulu dari Academica Sinica dicetak kembali, akan tetapi suatu kenyataan bahwa masyarakat sejarah di Taiwan sangat terbatas.[16]
 
B. Historiografi Jepang
1. Kegunaan Sejarah
Sejarah bagi masyarakat Jepang memiliki arti yang penting dalam mencari identitas dan untuk memberikan pengertian terhadap dunia tentang jati diri mereka. Sejak abad ke-8, para sejarawan Jepang telah melihat sejarah untuk menjelaskan tata moral dan politik. Pandangan sejarah tertua dan dan asli yang dianut oleh Jepang timbul pada masa Jepang masih terasing dari hubungan dan pengaruh kebudayaan Cina. Pandangan itu percaya “bahwa Jepang adalah pusat dunia, dan ahli warisnya bangga sebagai golongan utama yang dibentuk disekitar istana kekaisaran dan dilindungi oleh dewa-dewa (Shinto) sendiri”[17]. Pandangan tentang dunia seperti ini terus hidup hingga zaman modern, sebagaimana Jepang berpegang teguh pada perasaan lebih tinggi, baik kebudayaan maupun ras.
Pada abad pertengahan mulai berkembang Confusianisme yang digunakan untuk menyelesaikan masalah politik. Masuknya pengaruh Barat menyebabkan penulisan sejarah Jepang cenderung untuk mengadakan perubahan dan penyesuaian dalam konsep maupun metodologinya. Sejarawan Jepang mulai memiliki kemampuan untuk menggabungkan antara fakta-fakta dasar dengan gejala sebab akibat, dengan demikian mutu historiografi Jepang mengalami peningkatan.
Historiografi pada zaman Jepang Modern sejalan dengan keinginan bangsa dalam mencapai keunggulan dunia. Sejarah diarahkan untuk kepentingan negara, baik untuk memberikan pengertian kepada rakyat mengenai bahaya dari penerusan nilai-nilai tradisional maupun sebagai alat untuk membenarkan dalam rangka pembaharuan.

2. Historiografi Tradisional
Seperti negara-negara lain, di Jepang juga mengalami bentuk penulisan sejarah tradisional. Di antara historiografi tradisional di jepang adalah: a).  Kojiki[18] (720) adalah catatan mengenai masalah-masalah kuno, b). Nihon Shoki[19] (720) atau Babad Jepang, c). Pada abad ke-10 M muncul penulisan sejarah partikelir seperti monogatori (hikayat) dan kagami (cermin-cermin kecil) yang merupakan contoh gaya sejarah, seperti cerita tentang Genji yang ditulis dalam bahasa jepang, Okagami (Cermin Besar) merupakan karya terkenal yang memadukan antara sejarah Jepang abad ke-11 M dengan bangkitnya sejarah keluarga Fujiwara yang kemudian menguasai istana.
3. Historiografi Zaman Pertenganhan
Menjelang abad ke-12 karya-karya sejarah Jepang banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep karma dan keselamatan dari Buddhis. Sejarah kepahlawanan yang paling terkenal adalah mengenai perang antara Minomoto dan Taira (Heike Monogatori), ditulis dan dibacakan terutama untuk pesan pendidikan. Penulisan sejarah pada umumnya dilakukan oleh para pendeta yang percaya pada uraian-uraian Buddhis mengenai naik turunnya peruntungan bagi keluarga dan perorangan. Tahun 1222-1282 Nichiren mengemukakan bahwa Jepang adalah negara yang dikodratkan untuk menyempurnakan kepercayaan Budhis. Gukhanso (bunga rampai dari pandangan-pandangan yang kurang mengerti) oleh pendeta Fujiwara Jien (1155-1225) yang menganjurkan konsep kepemimpinan konfusius untuk perilaku nasehat kaisar. Jinno Shotaki (catatan asal-usul yang benar dari kaisar-kaisar kedewaan) oleh Jendral Kitabakke Chikafusa (1291-1354), yang ditulis untuk memberitahukan bahwa ia lahir dari cabang keluarga kaisar.[20]
4. Zaman Tokugawa
Masa Tokugawa (1600-1868) adalah masa kebesaran penulisan sejarah Jepang sebelum zaman modern. Muncul perhatian baru mengenai studi Kojiki yang memusatkan perhatian kembali pada kekaisaran. Hal ini menimbulkan unsur kebangsaan yang hidup terus dalam masyarakat Jepang. Daftar kumpulan sejarah yang terpenting adalah Tokugawa Jikki (Sejarah yang benar mengenai keluarga Tokugawa) yang dibuat tahun 1809 dan 1849.[21]
Honcho Tsugan (Cermin besar mengenai Jepang) yang selesai dibuat pada 1670 M. oleh keluarga Hayosi yang dibuat untuk meligitimasi kekuasaan Tokugawa. Dai Nihon Shi (Sejarah Jepang) disusun dibawah lindungan cabang Mito dari keluarga Tokugawa. Hokuseki (1657-1725) yang menulis tentang Dokushi Yoron (Komentar Sejarah Jepang) yang berisi tentang sistem periodisasi yang didasarkan atas perubahan-perubahan kekuasaan politik Koshi tsu (survei sejarah kuno). Rai Sanyo (1780-1830) menulis Nihon gaishi (Sejarah Jepang tidak Resmi,) yang melanjutkan tradisi cerita sejarah yang berpusat pada Kaisar Kitabatake. Honawa Hokiichi (1746-1821) dan anaknya yang menulis Gunshu Ruiju (teks yang diklasifikasikan) yang merupakan perbandingan teks-teks sejarah[22].
5. Zaman Meiji
Masa ini adalah masa peralihan dari historiografi tradisional ke historiografi modern. Karya yang penting pada masa ini adalah Koji-ruien (ensiklopedia hal-hal kuno) yang disusun oleh Kementerian Urusan Kuil-kuil (1879-1913). Terjadi dua arus historiografi pada masa ini, yakni: arus resmi (mencoba mempertahankan nasionalisme Jepang) dan arus swasta yang lebih bersifat internasional banyak mengambil konsep-konsep Barat (Bummei ron no gairyaku dan Nihon kaika Shosi). Ludwig Reiss (1861-1928) dari Jerman yang diundang ke Tokyo untuk mendirikan jurusan sejarah di Universitas Tokyo. Tahun 1895 Universitas Tokyo menyusun Dai Nippon Shiryo (Bahan-bahan Sejarah Jepang).[23]
6. Permulaan Historiografi Modern
Zaman permulaan historiografi modern ditandai oleh hasil yang nyata menurut empat garis-garis besar: (1) Kesempurnaan dari suatu metodologi sejarah modern, (2)  Penulisan studi-studi monografi  secara khusus mengenai pranata-pranata dan aspek-aspek yang khas dari peradaban Jepang, (3) Persiapan survei-survei sejarah secara umum, dan (4) Penerbitan buku-buku referensi dan bahan-bahan sumber.[24]
Banyak karya yang dihasilkan pada masa ini, misalnya: pada 1908  Kokushi no kenkyu  (Studi Sejarah Jepang), pada 1922 Nihon Bunkashi (Sejarah Kebudayaan Jepang), pada 1926 Sogo Nihon Shi taiken (Survei Sintetis Sejarah Jepang 20 jilid). Lalu lahir sejarawan-sejarawan hebat, seperti Nishida Naojiro, Tuda Sokichi, Honyo Eijiro, Ono Takeo dan Tsuchiya takao. Selain itu juga muncul perhimpunan-perhimpunan sejarah seperti: (1) Shigakhai (Masyarakat Sejarah Jepang), (2) Keizaishi Kenkyukai (Masyarakat untuk Studi Sejarah Ekonomi), (3) Shakai Keizaishi Gakkai (Masyarakat Sejarah Sosial dan Ekonomi), (4) Reikishigaku Kenkyukai (Masyarakat Ilmu Pengatahuan Sejarah).[25]
Tahun 1930 Jepang mengadakan ekspansi ke daratan dan melancarkan perang pasifik. Hal ini menyebabkan adanya perpecahan di kalangan sejarawan, antara antara cita-cita kiri dan kanan: (a)  Sejarawan Marxis: Menulis kembali perkembangan nasional Jepang dari primitif hingga menjadi masyarakat sosialis,  sebagai kritik kapitalis dan imperialis, muncul buku Nihon Shihonshugi hattasu Shi Koza (Esai mengenai sejarah perkembangan kapitalisme di Jepang) tahun 1932. (b). Sejarawan Nasionalis: menulis sejarah nasional, sejarah yang menekankan pada mitos-mitos, mengenai keunggulan mereka.[26]
7. Historiografi pasca Perang
Setelah mengalami kehancuran dan kekalahan dalam PD II, Jepang mengalami rehabilitasi Ekonomi dan spiritual sedikit demi sedikit. Selama lima belas tahun pertama setelah PD II beberapa subyek menjadi berlawanan termasuk sejarah. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi antara lain: a) Ekstrim Sosialis dimana bangsa dan kaisar keduanya ditolak secara total oleh masyarakat, b) Tema-tema umum, perjuangan melawan feodalisme, absolutisme, fasisme dan  kapitalisme.[27]
Perkembangan Historiografi Jepang semenjak tahun 1950 antara lain: a) terbit ensiklopedia baru, sejarah-sejarah survei baru dan karya-karya penelitian dasar, b) seeluruh literatur sejarah Jepang pada hakekatnya telah diperbaharui, seri dokumen baru yang menyusuri lebih dalam sampai masalah-masalah kecil mengenai kegiatan pemerintahan maupun ekonomi dengan kecermatan dan ketetapan yang baru, c) sangat empiris dan sedikit sekali dipengaruhi oleh masalah-masalah yang bias penafsirannya.[28]

C. Historiografi Afrika
Unsur inti dalam historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi kepercayaan kepada adanya kelanjutan hidup di antara semua orang Afrika. Di setiap tempat di daerah sub-sahara Afrika didapati kepercayaan akan adanya hubungan yang berlangsung antara yang sudah mati dengan kehidupan dari yang masih hidup masa kini dan dari generasi-generasi yang akan datang.[29] Hal ini dinyatakan dalam kepercayaan bahwa setiap komuniti didirikan oleh seorang nenek moyang atau sekelompok nenek moyang, dan apapun kedudukan  dan yang ada dalam komuniti itu kesemuanya karena nenek moyang. Penghormatan kepada para nenek moyang sering kali menjadi pemujaan. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh para nenek moyang adalah pertimbangan dan sangsi yang ampuh dalam masyarakat-masyarakat Afrika.
1. Tradisi tentang Asal Mula
Di Afrika, setiap komuniti mempunyai tradisi yang tetap mengenai asal mulanya. Komuniti ini mungkin terpecah-pecah, berimigrasi, dan berasimilasi dengan unsur-unsur yang baru, atau ditaklukan oleh yang lainnya dan diserap oleh imigran-imigran baru. Pada setiap tingkat dari transformasi, tradisi berada dalam pengkristalan kembali untuk mengakomodasi kondisi-kondisi yang berubah, dan suatu tradisi baru mengenai asal mula diformulasikan oleh komuniti yang baru. Tradisi-tradisi inilah yang menjadi dasar pokok dari pandangan komuniti mengenai sejarah. Proses pembuatan tradisi dan akulturasi di dalam komuniti, dan dari penyampaian tradisi ke generasi-generasi yang berikutnya, mengembangkan suatu kesadaran sejarah yang menjadi tersebar luas di Afrika.[30]
Meskipun tradisi asal mula ini tidaklah mengusahakan suatu penjelasan secara sejarah di dalam pandangan modern Eropa mengenai teks-teks dan kronologi yang dapat dibuktikan. Mereka hanya mengembangkan pengertian dan penghormatan terhadap pranata-pranata dan praktek komuniti, dan mereka memberikan penjelasan-penjelasan mengenai dunia sebagaimana dilihat oleh komuniti. Penjelasan yang diberikan belumlah bersifat historis tetapi lebih banyak bersifat filsafat, kesusasteraan, dan pendidikan. Yang mana sejarah dan mitos menjadi satu dan merupakan suatu bagian dari filsafat hidup.
Tradisi bagi mereka, tidak hanya menjelaskan hubungan antara para nenek moyang dari beragam komuniti, tetapi juga antara komuniti yang ada, para nenek moyang dan dewa-dewa.[31] Hal ini dinyatakan dalam bentuk-bentuk cerita, dalam puisi-puisi suci, upacara-upacara ritual, dan manifestasi-manifestasi keagamaan lainnya. Tradisi adalah bagian dari filsafat komuniti, bagian dari cara hidup yang khas dalam komuniti itu. Jadi tidak ada konsep sejarah universal yang meluas sampai keluar kehidupan sesuatu komuniti. Pembuatan dan penyampaian tradisi antara satu tempat  dengan lainnya berbeda. Hal itu sangat bergantung kepada luas, sifat alamiah, kepercayaan, dan sumber-sumber penghasilan dari suatu komuniti tertentu. 
2. Tradisi Cerita Lisan
Cara yang paling umum dalam penyampaian tradisi adalah melalui cerita-cerita, fabel-fabel dan pribahasa-pribahasa yang diceritakan oleh orang-orang yang lebih tua kepada generasi muda sebagai bagian dari pendidikan umum. Hal itu disampaikan dalam berbagai kesempatan bercerita, seperti sesudah makan malam keluarga, selama pesta-pesta bulan purnama. Seperti menceritakan asal mula adanya hubungan dari seluruh komuniti, keluarga, atau klan tertentu, meliputi kejadian-kejadian yang dapat diingat, khususnya hal-hal yang terjadi dua atau tiga generasi terdahulu.[32] Ada juga tradisi-tradisi yang disampaikan secara formal, umpamanya yang berhubungan dengan ritual masa dewasa, inisiasi ke dalam tingkat-tingkat umur dan kelompok-kelompok rahasia, atau selama latihan  atau pendidikan  untuk menjadi pendeta atau ahli agama, prosesi untuk calon raja yang terpilih.
Dengan demikian, proses penyampaian tradisi tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan tradisi. Tradisi dibuat oleh mereka yang menyampaikannya; orang-orang yang lebih tua di desa atau klan, dan seluruh unsur yang terlibat dalam proses itu.
3. Bentuk-Bentuk Tradisi
Tradisi itu ada yang berbentuk atas dasar kenyataan sejarah. Ada pula yang berbentuk atas dasar kesusasteraan dan filsafat[33]. Adapun tradisi-tradisi yang bersifat kenyataan sejarah, seperti daftar-daftar formal dari raja-raja dan pemegang jabatan lainnya, kronik-kronik dari setiap masa pemerintahan, pemberian-pemberian gelar, dan puisi-puisi pujian yang sering meliputi kritik langsung maupun tidak langsung, geneologi-geneologi, dan hukum-hukum atau adat istiadat tertentu, serta biografi yang simbolik.
 Lalu tradisi-tradisi yang lebih berbentuk kesusasteraan meliputi pribahasa-pribahasa atau  ungkapan-ungkapan, dan lirik-lirik. Ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus dengan kelompok seniman tertentu, tingkatan umur, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Sedangkan tradisi yang lebih bersifat filsafat terdapat pada do’a-doa suci, puisi-puisi pujian kepada dewa-dewa, puisi-puisi suci, nyanyian-nyanyian berkabung, dan hymne-hymne.
4. Pengaruh Asing dalam Historiografi Afrika
a. Pengaruh Ethiopia
Telah ada tradisi-tradisi sejarah di Afrika yang mempengaruhi historiografi Afrika kemudian. Seperti tradisi sejarah Ethiopia, yang sebagian bersifat Afrika dan sebagian lagi berinspirasikan Yudea-Kristen. Seperti tentang keunggulan dari dinasti Solomon, kesatuan dari gereja dan negara menjadi kekuatan-kekuatan sejarah yang dinamis. Seperti di bagian-bagian lain Afrika, pada abad ke-12 Ethiopia mengembangkan suatu legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan tanah suci. Itu adalah tradisi tertulis tercakup dalam Buku Raja-Raja yang menjadi acara yang utama, dalam pentahbisan raja.[34] Hal itu dianggap memberi pengaruh terhadap historiografi Afrika.
Sebenarnya yang lebih berhubungan dengan historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi dari orang-orang Barbar[35]. Seperti mayoritas orang Afrika lainnya, Orang barbar amat sadar akan adanya hubungan yang berlangsung terus menerus dengan masa lampau. Sebagai bentuk reaksi mereka terhadap agama Kristen dari Romawi dan Islam dari tanah Arab, mereka memanifestasikan suatu sikap mistik yang berbeda dan dikombinasikan dengan penghormatan-penghormatan kepada para nenek moyang. Sikap ini menghasilkan biografi dari orang-orang suci, bukan sejarah yang bersifat kritis, tetapi hal itu sendiri adalah metode untuk menyucikan dan mengabadikan kebaikan-kebaikan sosial dan agama dari rakyat. Di dalamnya terdapat pernyataan kesusasteraan yang berisikan penghormatan terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan para nenek moyang, sama dengan tradisi-tradisi yang terdapat di bagian-bagian lain Afrika.      
b. Pengaruh Islam
Pengaruh Islam tidak hanya penting di Afrika Utara tetapi juga di Afrika Timur, seluruh daerah Sudan, dan daerah-daerah lain. Seperti pengaruh geneologi, Barbar memasukan unsur ini ke dalam penghormatan kepada para leluhur dalam bentuk memeriksa dan mengikuti jejak geneologi spiritual para pemimpin Islam. Penulis-penulis Islam menghasilkan tarikh dan kronika, khususnya antara abad-abad ke-11 dan ke-17. Kesemua ini meliputi catatan-catatan berdasarkan pengamatan, tradisi lisan, dan bukti-bukti dari catatan-catatan lebih awal yang dibuat oleh ahli bumi, pengembara dan pedagang. Penulis-penulis Islam tertarik kepada penyebaran dan pengaruh Islam, serta kepada kehidupan keagamaan dan ekonomi dari pusat-pusat utama agama Islam. Faktor-faktor ini berdiri sendiri di luar tradisi-tradisi dan kehidupan Afrika secara menyeluruh. Tradisi-tradisi rakyat dibuat tertulis, pada umumnya dalam bahasa Arab, tetapi kadang juga di dalam tulisan Arab dengan bahasa Lokal. Catatan itu seputar kepribadian tokoh-tokoh komuniti Islam bukan pada negara-negara atau klan-klan yang tradisional.
Diakui, bahwa Ibnu Khaldun, sarjana Tunisia  yang terkenal dari abad ke-14, memiliki karya-karya terpenting penting dalam historiografi. Ia menekankan pentingnya sosiologi bagi sejarah. Ia mempelajari masa lampau bukan sekedar kegiatan-kegiatan individual tetapi juga menganalisa hukum-hukum, adat istiadat, dan pranata-pranata dari berbagai bangsa, begitu juga hubungan antara negara dan masyarakat. Seharusnya hal ini menjadi basis membuat suatu sintesis dari tradisi-tradisi Afrika yang banyak ke dalam suatu sejarah dari benua ini, tetapi belum termanfaatkan dengan baik. Karena mereka disibukan dengan keputusan-keputusan, peperangan, dan politik dari para raja. Terlebih lagi, pada abad ke-19, pendekatan legal dan biografi diperluas dengan memperhatikan faktor-faktor sosial dan ekonomi, tetapi bukti-bukti dokumen menjadi sangat penting bagi sarjana-sarjana Eropa, oleh karena itu mereka menyamakan dokumen-dokumen tertulis sama dengan sejarah. Jadi, ketiadaan dokumen-dokumen tertulis oleh mereka dianggap sama dengan tidak ada sesuatu kejadian yang berharga bagi studi sejarah.    
c. Pengaruh Eropa dan Perkembangan Historiografi Afrika
Pada abad ke-19 tatkala pengaruh Eropa masuk ke Afrika, pengaruh yang dibawa tidak dibangun di atas tradisi-tradisi sejarah yang ada, tetapi menentang dan menggantikan tempat tradisi-tradisi sejarah tersebut. Pandangan Eropa tentang sejarah dokumenter membantu propoganda penguasa-penguasa kolonial; Afrika tidak mempunyai sejarah tercatat yang ada harganya; karena sejarah dari para pedagang Eropa, penyebar agama, penyelidik, penakluk dan penguasa yang membuat sejarah Afrika, walaupun ada perhatian kepada sumber-sumber Arab dan lainnya.
Para ahli sejarah Eropa abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 berusaha untuk menjelaskan perdagangan budak di daerah Atlantik; keunggulan dari teknologi Eropa, ketaklukan Afrika, tidak dilihat dari aspek studi sejarah dari benua ini, tetapi dilihat dari segi prasangka-prasangka rasial dan psikologis tentang kekalahan yang merupakan ciri utama dari orang-orang yang berkulit hitam. Bahkan kelompok-kelompok penyebar agama kristen mengintroduksi penjelasan agama yang mengatakan “bahwa orang-orang Afrika adalah anak-anak Ham dan mereka berada di bawah kutukan Nabi Nuh untuk menjadi pemotong-pemotong kayu dan penimba air bagi mereka yang berkulit putih”.[36] Dengan demikian historiografi Afrika hanya menjadi suatu alat pembenaran bagi imperialisme Eropa.
Orang-orang Afrika yang berpendidikan dalam bahasa-bahasa Eropa pada mulanya menerima teori-teori ini, tetapi karena kesadaran agar sejarah tradisi Afrika tetap hidup, mereka segera menentang pikiran-pikiran yang tidak masuk akal dari ahli-ahli sejarah Eropa. Mereka mulai mencatat hukum-hukum, adat istiadat, peribahasa-peribahasa, ungkapan-ungkapan, dan tradisi-tradisi sejarah yang ada pada komuniti-komuniti mereka sendiri. Mereka juga mencatat kejadian-kejadian penting yang terjadi pada abad ke-19, terutama menjelang Eropa berkuasa atas Afrika. Di antara para penulis yang terpenting adalah James Afrikanus harton dari Sierra Leone, Carl C. Reindorf dan John M. Sarbah dari Ghana, Otomba Payne dan Samuel Johnson dari Nigeria.
Sejak Perang Dunia Pertama, Revolusi Rusia, dan Kongres Nasional India, mengawali langkah para ahli antropologi menjadi lebih tidak terikat kepada pemerintah kolonial, lebih tidak etnosentris, dan sebagai akibatnya mereka menjadi lebih menghargai kebudayaan dan tradisi-tradisi sejarah Afrika. The International Institute of African Language and Cultures di London mulai menerbitakan majalah Africa, dan Perancis mendirikan Institut Francais d’Afrique Noire di Afrika barat. Journal of Negro History, di AmerikaSerikat, terutama berkepentingan dengan sejarah orang kulit hitam di Amerika, menarik perhatian terhadap kemungkinan-kemungkinan sejarah Afrika. Ahli-ahli antropologi seperti Melville J. Herskovits mulai memperhatikan kebudayaan Afrika secara serius dan mencoba memahami Afrika masa lampau. [37]
Gejolak perhatian terhadap historiografi Afrika baru datang bersamaan dengan gerakan menuju kemerdekaan, yang menyusun langkahnya di Afrika selama dan sesudah Perang Dunia II. Gerakan nasionalis secara tegas menolak penilaian orang Eropa terhadap masa lampau Afrika dan menuntut suatu orientasi yang baru dan perbaikan fasilitas-fasilitas pendidikan untuk menghasilkan penilaian kembali. Menjelang tahun 1940-an, para peneliti Afrika dengan keras menyatakan, “bahwa sejarah Afrika haruslah sejarah mengenai orang-orang Afrika dan bukan orang-orang Eropa yang ada di Afrika, bahwa catatan-catatan lokal dan tradisi-tradisi sejarah harus digunakan untuk menambah arsip-arsip Eropa, dan tradisi lisan haruslah diterima sebagai material yang benar untuk penelitian sejarah”[38]. Akhirnya pendekatan yang baru ini menghasilkan karya-karya seperti Trade and Politics in the Niger Delta, dan The Egba and Their Neighbours.
Setelah itu, pendekatan interdisipliner dalam kajian sejarah telah mendorong arah yang menghasilkan bagi historiografi Afrika, dan menyebabkan terjadinya tiga perkembangan utama. Yang pertama, dibentuknya pusat-pusat atau institut-institut khusus studi-studi Afrika, di mana ahli-ahli sejarah, antropologi, ilmu bahasa, dan ilmu purbakala dapat bekerja sama, baik dalam penelitian maupun di dalam training ahli-ahli sejarah. Kedua, berdirinya proyek-proyek kebudayaan sejarah yang khusus, seperti proyek-proyek Benin dan Yoruba, di mana tim terdiri dari berbagai latar belakang disiplin ilmu bekerja sama untuk mengkaji sejarah kebudayaan. Ketiga, pembentukan perkumpulan-perkumpulan dan diadakannya konperensi atau kongres secara periodik mengenai sejarah Afrika atau studi-studi Afrika secara umum, membuat para ahli duduk bersama menyoroti berbagai bidang ilmu pengetahuan. Usaha-usaha itu telah menghasilkan koleksi dan penilaian material untuk sejarah Afrika.
Lalu, sejak berakhirnya perang, banyak negara-negara Afrika yang mendirikan arsip-arsip nasional. Hal ini mendorong pengelolaan dan penggunaan arsip-arsip pemerintah, misi, perdagangan, dan perseorangan di Eropa. Seluruh material yang ada hubungan dengan Afrika semuanya disalin dan dipindahkan ke pusat-pusat arsip dan tempat-tempat belajar di Afrika, yang mana arsip-arsip ini ditambahi dengan catatan-catatan lokal dalam bahasa Eropa, Arab, dan bahasa-bahasa Afrika. Pada saat itu, para ahli sejarah Afrika juga telah memulai penggunaan standar dan metodologi yang ketat di dalam pengumpulan data. 
D. Historiografi Eropa
Historiografi Eropa Kuno jauh berbeda dari historiografi tradisional negara-negara lain. Hal ini dikarenakan dalam historiografi kuno tidak mengutamakan mitos dan theogoni. Orang-orang Yunani lebih mengutamakan rasionalis dan demokrasi. Dan yang jelas bahwa historiografi Eropa Kuno berorientasi pada perkembangan.[39] Dalam historiografi Eropa kuno mengakar kuat rasa patriotisme sehingga tulisannya pun banyak mengangkat tentang perang dan kejayaan suatu imperium. Sebelum adanya  historiografi Eropa kuno, suatu sejarah pada awalnya berbentuk lisan atau yang lebih dikenal dengan tradisi lisan. Akan tetapi setelah manusia mengenal tulisan maka penyampaian sejarah ini pun berubah menjadi tradisi tulis. Penulisan awalnya masih berbentuk puisi atau syair[40]. Bentuk ini kemudian berubah menjadi prosa[41] setelah adanya usaha penulisan sejarah oleh Herodotus.
Tulisan sejarah berkembang menjadi sebuah karya dokumen pada masa Thucydides. Selain itu dalam karyanya digunakan sebuah metode, yaitu metode kritis untuk melakukan kritik terhadap sumber sehingga didapatkan sebuah karya yang akurat dan obyektif. Metode ini masih digunakan dan berkembang pada masa Polybius.
1. Sejarawan pada Masa Eropa Kuno
a. Herodotus
Herodotus dikenal sebagai Bapak Sejarah. Herodotus merupakan Pelopor perubahan bentuk puisi menjadi prosa. Penulisan bentuk prosa sedikit demi sedikit telah merubah tradisi yang ada, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sudah berusaha menghilangkan unsur theogoni dan mitos. Dalam karyanya, Herodotus berusaha untuk merubah theogoni dan mitos menjadi rasional. Selain menulis tentang sejarah, Herodotus juga menulis tentang Sosiologi dan antropologi. Karya Herodotus yang paling populer adalah “Greco-persian Wars”. Perang Yunani-Persia  terjadi pada tahun 460 – 479 sM yang menceritakan tentang Perang antara peradaban Hellenic dan timur (Persia), yang akhirnya dimenangkan oleh Yunani. Dengan karya ini Herodotus mencoba untuk merintis penulisan sejarah dengan menggunakan unsur kajian ilmiah. Dalam tulisannya dijumpai keanekaragaman pengalaman dan aktivitas dari berbagai tempat di masa lalu. Kecermatan dalam penulisan menimbulkan kesan bahwa semua yang ditulisnya nampak sekali seperti laporan pengamatan mata. Selain itu Herodotus juga menggunakan sumber lisan untuk menyusun karyanya. Ide-idenya banyak mempengaruhi gaya para sejarawan dunia kuno, namun bukan pada isinya. 
b. Thucydides
Thucydides adalah seorang Jenderal Perang Athena dan terlibat langsung dalam Perang Peloponesia antara Athena dan Sparta. Ia menulis tentang Perang ini. Karya ini mengungkap perang antara demokrasi dan tirani yang dimenangkan oleh Athena. Tulisannya ini dianggap sebagai laporan perang yang tidak memihak, sejarah yang ditulisnya terbatas pada politik, diplomasi dan perang, tetapi akurat, ia juga berusaha menghindari penjelasan supernatural seperti tulisan puisi. Meskipun tulisannya dikatakan tidak berat sebelah dan ditulis secara mendetil, akan tetapi aspek subjektifitas itu tetap ada, mengingat dirinya adalah seorang Jenderal Perang Athena. Karya Thucydides memberikan sumbangan besar dalam ilmu sejarah. Thucydides telah berusaha untuk menggunakan kritik sumber dan metode sejarah dalam penulisannya. Thucydides beranggapan bahwa kekuatan dalam penulisan sejarah tergantung pada data yang akuat dan relevansi dengan menyeleksi berbagai sumber, sehingga diharapakan tulisannya nanti akan menjadi sebuah karya sejarah kritis. Dia menggunakan berbagai sumber termasuk inskripsi dan bukti untuk melengkapi dan memperkuat catatannya tentang peristiwa-peristiwa, selain itu juga memakai bukti material untuk menyempurnakan catatannya tentang kejadian masa lampau. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa Thucydides memang berusaha untuk membuat sebuah karya yang bagus. Karena prinsip yang dianutnya ini, ia mendapatkan gelar sebagai “Bapak Sejarah Kritis”.[42]
c. Polybius
Polybius adalah orang Yunani yang dibesarkan di Romawi.  Karya-karyanya banyak mengungkap tentang perpindahan kekuasaan dari Yunani ke Romawi. Sama dengan Thucydides, Polybius juga berjasa dalam pengembangan sejarah kritis. Sedangkan dalam metodologi sejarah Polybius mengemukakan pentingnya geografi dan tipografi dalam sarana pendukung penulisan sejarah. Dia beranggapan bahwa sejarah adalah filsafat yang mengajar melalui contoh.[43]
Polybius membedakan analisis dalam 3 unsur, yaitu awal (archai), dalih (Prophaseis) dan sebab (aitiai). Dalam prinsipnya bahwa manusia itu haruslah mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah moral dan pergantian nasib.[44]  Akan tetapi karya Polybius ini dalam tulisannya bersifat didaktis, terlalu bertele-bertele sehingga karyanya tidak terlalu populer.
d. Titus Livius
Livius merupakan sejarawan dari Romawi, sehingga karya-karya yang dihasilkan berkisar pada imperium Romawi. Karyanya yang terkenal adalah “History of Rome”[45]. Sebelum menulis, Livius membaca terlebih dahulu, menerjemahkan dan menyusun ulang informasi agar sesuai dengan peristiwa dan tema-tema penting, dan berusaha menyelesaikan hal-hal yang kurang familiar.
Livius merupakan orang pertama yang menggunakan imajinasi dalam karya-karyanya, maka dari itu Livius mengorbankan kebenaran sejarah demi sebuah retorika, hal ini dikarenakan dia telah menulis sejarah Romawi sebagai sebuah negara dunia dengan segala semangat patriotismenya. Kisah tentang berdirinya kota Roma menjadi campuran antara fantasi dan fakta. Hal ini menyebabkan dia disebut sebagai sejarawan yang tidak ahli.
e. Tacitus
Tacitus merupakan sejarawan Romawi yang berusaha untuk mengemukakan “sebab moral” keruntuhan Romawi. Tacitus berusaha untuk melihat ke belakang bukan kedepan untuk melihat akar-akar persoalan-persoalan politik yang terjadi di tahun-tahun awal kerajaan Roma. Selain itu dia juga menulis tentang bangsa Jerman dan menjadi satu-satunya literatur tentang Jerman. Banyak para sejawaran yang berpendapat bahwa karya-karya Tacitus memiliki kualitas sastra yang cukup tinggi.[46] Dia mengisahkan secara detail mengenai sebuah kerajaan yang tengah bergerak menghancurkan dirinya sendiri. Banyak orang yang mengatakan bahwa Tacitus merupakan “ suara otentik Roma kuno dan pelukis besar zaman Kuno”. Setiap halaman dari tulisannya menunjukkan kemampuan retorik. Tacitus memakai orasi langsung dan orasi buatan untuk melukiskan karakter, meringkaskan pemikiran kelompok-kelompok, menyampaikan rumor masyarakat, memperkuat penegasan dan menegaskan posisi moral-politik.


2. Ciri-ciri Historiografi Eropa Kuno
Beberapa ciri-ciri historiografi Eropa kuno antara lain[47]:
a. Visi
Visi historiografi Eropa Kuno lebih pada rasionalistis dan demokratis. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Yunani dan romawi menganut banyak dewa, akan tetapi mereka tidak pernah berorientasi pada dewa sentries, walaupun demikian mereka masih memegang mitos dan theogoni. Dan yang utama pada masa ini dalam penulisannya ditujukan pada jiwa patriotik.
b. Isi
Isi dari tulisan yang dihasilkan pada masa ini adalah yang berisikan kepahlawanan. Artinya tulisan diorientasikan pada perjuangan karena yang ditulis masih seputar perang dan juga kekuatan dari sebuah imperium besar. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa para penulis cenderung berat sebelah. Hal ini dikarenakan dalam posisinya para penulis berada dalam pihak yang menang ketika suatu perang tersebut berlangsung, baik mereka ikut langsung maupun sebagai pengamat saja.
c. Penyajian
Penyajian historiografi Eropa kuno tidak hanya dalam satu bentuk penyajian saja, akan tetapi bervariasi. Dalam karya Herodotus ditulis dalam bentuk prosa (logographoi). Bentuk ini merupakan pembaharuan dari bentuk puisi atau syair. Sedangkan pada karya Thucydides, Polybius, Tacitus maupun Livius karyanya berbentuk dalam dokumen. Sebagai contohnya adalah perang Peloponesos karya Thucydides. Penyajian dalam bentuk dokumen ini dipengaruhi oleh gaya dari penulis sendiri yang sudah mulai menggunakan sejarah kritis dan metode sejarah dengan menghilangkan mitos dan theogoni.
Menurut R.G. Collingwood dalam bukunya The idea of History bahwa ada dua macam karakteristik historiografi pada masa Yunani-Romawi, Yaitu: pertama, bersifat humanistis dalam penulisannya, manusia mendapatkan posisi yang utama sebagai objek sejarah. Segala tindak-tanduk manusia seperti perbuatan manusia, kesuksesan, kegagalan, dilukiskan dalam suatu karya sejarah. Kedua, gaya penulisannya menyinggung sisi subtansial dalam penulisan historiografi, para ilmuan mendasari penulisanya dengan pola-pola metafisi. Sisi-sisi metafisi tidak sama dengan hal-hal yang berbau metafisis.[48]
4. Historiografi Eropa Modern
Sejak Eropa dilanda Zaman Kelam[49] (Dark Ages) sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Lima abad sesudah Zaman Pertengahan merupakan merupakan titik awal Zaman Modern[50] yang ditengarai dengan penggunaan mesin uap dan berbagai mesin logam lain dalam dunia industri di Inggris dan Perancis. Tidak hanya membawa dampak pada motivasi efisiensi dan efektifitas produksi, lebih lanjut, perubahan tersebut membawa dampak-dampak sosial dan ekonomi di Eropa khususnya, dan dunia secara umum.
Di Eropa revolusi[51] besar dalam ilmu pengetahuan baru terjadi kurang lebih abad ke-17, namun Renaissance dapat dianggap sebagai masa persiapan. Hasil karya golongan Humanis memberi sumbangan berharga, contoh: karya Leonardo da Vinci berupa mesin bubut, pompa, alat peperangan, pesawat terbang. Selain itu masih ada penemuan lain yaitu mesin cetak, mesiu, kompas magnetik, peta dan lain-lain.
Sejak zaman purba, manusia memiliki kecenderungan untuk membuat alat dalam proses menuju sebuah tujuan. Alat yang dimaksud bisa berupa organisasi kerja, proses-proses kerja, dan alat sebagai sebuah benda (alat bantu/pesawat sederhana). Karena manusia adalah mahluk pemikir (homo sapiens) selain sebagai manusia tukang (homo faber), seiring perkembangan waktu, maka kreasi-kreasi pembaruan alat selalu dilakukan. Tahapan evolusi manusia hingga abad ke-18 kiranya sudah sampai pada tahapan yang mencukupi untuk dikatakan civillized[52]. Mengingat organisasi-organisasi persekutuan sosial, organisasi produksi, organisasi politik sudah lama berdiri. Khusus dalam hal organisasi produksi, pada abad ke-18 di Eropa telah mengalami lompatan yang cukup signifikan. Seiring dengan perkembangan lebih lanjut dari industri rumah tangga dan sistem-sistem Factory, alat-alat berupa mesin-mesin logam bermunculan. Semangatnya berkisar pada perbaikan kualitas hidup, lebih spesifik lagi pada pemenuhan prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas dalam produksi. Sebuah revolusi baru manusia telah dimulai dengan lebih khusus berkutat dengan hal industri. Oleh karenanya, Revolusi Industri pada abad ke-18 di Eropa telah menapaki babak pertama. Secara otomatis, Revolusi Industri ini telah berdampak pada bidang-bidang ekonomi, karena alat-alat baru yang dikembangkan merupakan bagian dari usaha-usaha pengembangan industri manufaktur Eropa. Namun, selain bidang ekonomi, Revolusi Industri di Eropa juga membawa implikasi-implikasi dalam bidang sosial, karena relasi antar manusia menjadi terpengaruh atasnya.
Seperti halnya telah diuraikan di atas, bahwa Revolusi Industri adalah bagian dari periodisasi sejarah Eropa. Menjadi periodisasi tersendiri karena Revolusi Industri membawa masyarakat Eropa pada zaman baru, zaman modern, zaman di mana yang lama ditinggalkan dan yang baru dimulai.


III.   Penutup
Berangkat dari uraian terdahulu dapat disimpulkan mengenai historiografi masing-masing negara sebagai berikut:
Pertama, historiografi Cina berawal dari perpaduan magico-religio dengan menyimpan arsip-arsip atau catatan-catatan di dalam istana. Kemudian dimantapkan melalui tradisi penunjukan sejarawan istana pada masa kaisar Hung Ti yang terus berlanjut hingga runtuhnya sistem kekaisaran.  Ruang lingkupnya meliputi; sejarah politik, pranata, ekonomi, geografi administratif, dan biografi. Metode yang digunakan pada masa klasik berupa; pencatatan  dan kompilasi. Kemudian historiografi Cina modern ditandai dengan runtuhnya sistem kekaisaran, masuknya pengaruh Barat, penggunaan teknik dan metode penulisan sejarah modern; sejarah analitis yang berdasarkan atas hipotesa-hipotesa, sekaligus menggantikan metode kompilasi yang merupakan tradisi klasik.
Kedua, Historiografi Jepang dibangun atas identitas moral dan politik. Hal ini terus tercermin hingga historiografi modern Jepang sejalan dengan keinginan bangsa dalam mencapai keunggulan dunia, dan kepentingan negara. Historiografinya terbagi ke dalam beberapa periode; tradisional (coraknya; kajeki, nihon shaki, monogatori, kagami, dan okagami), pertengahan (pengaruh budhis dan confusianisme), zaman Tokugawa (membahas tentang kekaisaran), zaman Kenji (peralihan tradisional-modern), zaman modern (metodologi baru, monografi, survei, dan penerbitan referensi dan sumber, dan pasca PD. II. (adanya aliran ekstrim sosialis, tema-temanya umum, terbit ensiklopedia baru, pembaharuan semua sumber, dan bersifat empiris).
Ketiga, historiografi Afrika cikal bakalnya terpusat pada tradisi yang lahir dari kepercayaan bahwa ada hubungan yang terus berlangsung antara yang hidup dengan yang sudah meninggal, hal ini diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. Adapun historiografi awal ini berupa kenyataan sejarah, kesusasteraan dan filsafat. Historiografi Afrika dipengaruhi oleh historigrafi Ethiopia, Islam, dan Eropa. Sebelum akhirnya mulai menunjukan ke arah historiografi yang lebih baik menjelang dan sesudah kemerdekaan.
Keempat, Historiografi Eropa kuno dilandasi oleh rasionalitas dan demokrasi. Disajikan dalam bentuk syair, prosa dan menggunakan metode sejarah kritis. Historiografi Eropa kuno isinya identik dengan masalah perjuangan dan patriotisme. Sedangkan pada masa modern banyak dipengaruhi oleh revolusi industri.  





































DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Taufik dan Abdurrahman Surjomiharjo. 1985, Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia.
Coolingwood, R. G. tt, The Idea of History.London: oxford University
Kartodirdjo, A. Sartono, 1970. Lembaran Sejarah, Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kaswani, Anggar. 1998 Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta. Bentang. 1995
W.J. Van der Meulen. S.J. tt., Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta:             Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta.
Widiyanto, Danar. 2002, Perkembangan Historiografi: Tinjauan di Berbagai       Wilayah Dunia, Yogyakarta: Universitas Yogyakarta Press.
Tamburaka, M.A., Prof. Drs. H. Rustam, E., 1999, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat & IPTEK, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://priadhita99.blogspot.com/2010/04/historiografi-eropa-modern_26.html, diakses Rabu, 12-05-2010




               [1]A. Sartono Kartodirdjo, 1970. Lembaran Sedjarah, Jogyakarta: Universitas Gajah Mada, h. 4  
               [2] Taufik Abdullah, et. All., 1985, Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, h. 71.
[3]Ibid., Lihat juga http://priadhita99. blogspot. com/2010/04/ historiografi-eropa-modern-26. html
               [4]Ibid.
               [5]Ibid.
               [6]Ibid., h. 72
               [7]Ibid.
               [8]Ibid., h. 73
               [9]Ibid.
               [10] Taufik Abdullah, et. All., Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, h. 74
[11]Ibid., h. 75-76
[12]Ibid.,h. 78- 82 
[13]Pada awalnya Cina berusaha untuk melawan pengaruh Barat, tapi kemudian berubah menjadi kompromistis dan akomodatif, hal ini terjadi dalam periode tahun 1860 hingga tahun 1905 M. Sejak tahun 1905 sistem ujian negara dihapuskan, diiringi dengan reformasi cepat di bidang pendidikan. Universitas-universitas terkenal dalam tahun 1930-1931, menyediakan beberapa kedudukan bagi sejarawan. Lembaga terkemuka untuk peneliti lanjutan adalah lembaga sejarah dan filologi, sebagai cabang dari Academia Sinica yang dibentuk pemerintah pada tahun 1928. Lembaga ini menyokong kegiatan penelitian guna mengatur kembali pusaka sejarah dan menerapkan metode-metode analisa baru, termasuk pendekatan untuk membuktikan  dokumen-dokumen bersejarah melalui penelitian arkeologis. Penggalian yang dilakukan  atas bekas-bekas ibu kota Shang di Anyang menjadi tonggak revolusi sejarah purba Cina. Perpustakaan-perpustakaan nasional pun bermunculan di Peking dan Nanking yang diorganisasikan menurut cara Barat. Kemudian pemerintah nasionalis mengambil alih arsip-arsip dinasti yang telah runtuh sedikit demi sedikit dimodernisasikan, lalu sebagian kecil dari koleksi arsip diterbitkan, terutama oleh Museum Istana di Peking. Lihat Abdullah, et. All., h.82-83

               [14]Ibid., h. 84
               [15]Ibid. h. 86
               [16]Ibid. h. 87-88
[17]Ibid., h. 90
[18]Kojiki menceritakan masalah rakyat Jepang dari zaman dewa-dewa melalui berdirinya kekuasaan Yamato hingga berakhirnya Pemerintahan Ratu Suiko tahun 623 M. Keluarga kaisar mengajukan haknya untuk berkuasa karena keturunan langsung dari Amaterasu, Dewa matahari. Ibid., h. 92
[19]Nihon Shoki ditulis dalam bahasa Cina dan didasarkan pada model-model sejarah Cina. Nihon Shoki mencatat 660 sM sebagai masa kenaikan tahta Jimmu (kaisar pertama), suatu yang diragukan sejarah modern. Nihon Shoki dengan lima sejarah murni berikutnya yang mencatat tentang kejadian istana kekaisaran hingga tahun 887 dikenal sebagai Rikkokushi (enam sejarah nasional). Ibid., h. 93
[20]Taufik Abdullah, et. all., Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, h. 94-95
[21]Ibid., h. 95-98
[22]Ibid 
[23]Ibid., h. 98- 100
[24]Ibid., h. 100-102
               [25]Ibid . Lihat juga http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi, diakses rabu, 12-05-2010

[26]Ibid
[27]Ibid., h. 103-104
[28]Ibid
[29]Ibid., h. 106
[30]Ibid., h. 107-108
[31]Ibid
[32]Ibid., h. 108-109
[33]Ibid., h. 110
[34]Ibid., h. 111
[35]http://fauzihistory.blogspot.com,  diakses: Rabu, 12-05-2010
[36]http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi, diakses rabu, 12-05-2010. Lihat juga Taufik Abdullah, et. all., Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, h. 113-116
 
[37]Ibid
[38]Ibid
[40]Historiografi Eropa kuno yang berbentuk puisi dan syair tadi merupakan karya yang diperkenalkan oleh Homer. Dalam karya Homer ditulis berdasarkan cerita-cerita lama, seperti halnya menceritakan tentang kehancuran Troya pada 1200 sM. Tulisan tersebut banyak mengandung informasi mengenai kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat pada saat itu. Lihat R. G. Coolingwood, The Idea of History. London: oxford University, tt., h. 14-20
[41]Tulisan sejarah yang berkembang menjadi prosa diciptakan oleh Herodotus dan berkembang pada abad ke-6 sM tepatnya di Ionia. Hal ini dikarenakan pada waktu itu adanya kebebasan ekspresi untuk masyarakat. Sedangkan dalam kebudayaan muncul filsafat spekulatif yang mempersoalkan asal usul dan struktur dunia. Ibid., h. 28
[42]R. G. Collingwood, Idea of History, h. 29
[43]Ibid., h. 33
[44]Ibid
[45]Karya ini berusaha untuk menggambarkan kebesaran Romawi termasuk didalamnya kehidupan rakyat kecil, kekejaman para mandor terhadap para pekerja, dasar-dasar hukum Romawi, proses perkembangan pemerintahan, perkembangan teori politik, moral dan juga hubungan antar tradisi. Ibid., h. 36
[46]Ibid., h. 38
[48]R. G. Collingwood, Idea of History, h. 40
[49]Maksud "Zaman Kelam" ialah zaman masyarakat Eropa menghadapi kemunduran intelek dan ilmu pengetahuan. Zaman ini selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan Kerajaan Romawi dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15 Masehi. Lihat W.J. Van der Meulen. S.J. Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta, h. 14
[50]Istilah Industri dan Modern dalam sejarah Eropa sering dikait-kaitkan dan cenderung identik satu sama lain. Hal ini beralasan mengingat definisi modern yang hendak meninggalkan masa ancient seraya berbanding lurus dengan industri yang hendak meninggalkan pra-Industri. Lihat W.J. Van der Meulen, Ibid., h. 16
[51]Revolusi dalam konteks apapun selalu digunakan untuk menjelaskan sebuah lompatan radikal dari sebuah masa ke masa yang lain. Ada unsur perubahan, pendobrakan, perombakan, pembaharuan, dan terkadang diwarnai oleh friksi-friksi antara kelas/golongan. Hal lain yang mencirikan sebuah revolusi adalah kesan mendadak dan seketika tanpa ada langkah-langkah bertahap layaknya “evolusi”. Antara revolusi dan evolusi sebenarnya memiliki keterkaitan. Revolusi dapat dimaknai lompatan terakhir atas rentetan tahapan yang telah dibangun secara evolutif. Ibid., h. 17
[52]W.J. Van der Meulen. S.J. Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa, h. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar