HISTORIOGRAFI CINA, JEPANG, AFRIKA DAN EROPA
I.
PENDAHULUAN
Setiap kebudayaan berlangsung di dalam rentang waktu,
dan di dalamnya selalu terjadi perubahan, yang mana hidup dan kebudayaan tunduk
pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru. Di sana senantiasa terjadi
pembentukan, penciptaan kembali dan pembaruan. Karena setiap kebudayaan selalu
mempunyai gambaran angan-angan tertentu mengenai masa silamnya sendiri.
Bentuk ini, dalam
suatu sejarah atau kebudayaan tertentu tertuangkan, sebagian tergantung dari
sifat kebudayaan itu, dan sebagian lagi dari derajat perkembangannya.
Mitos-mitos, cerita-cerita patriotisme, geneologi, kronik dan annal adalah di
antara bentuk-bentuk sejarah.
Ada ungkapan yang menyatakan, bahwa kebudayaan yang terbatas akan
menghasilkan sejarah yang terbatas, sebaliknya kebudayaan yang luas akan
menghasilkan sejarah yang luas pula[1].
Berkaitan dengan hal ini, setiap bangsa yang ada di muka bumi akan mencerminkan
hal itu dalam sejarahnya masing-masing, tidak terkecuali Cina, Jepang, Afrika
dan Eropa. Dengan demikian, makalah ini perlu mengungkap tentang historiografi
masing-masing negara itu sebagai sebuah upaya memberikan informasi awal
mengenai permasalahan tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A.
Historiografi
Cina
Cina merupakan suatu bangsa yang memiliki sejarah tertua
yang tidak terputus di dunia. Pada mulanya sejarah Cina merupakan perpaduan
antara cara-cara magico-religio dengan penyimpanan catatan. Hal ini
mempunyai akibat sangat besar terhadap tradisi sejarah di negeri Cina[2].
Seperti Kaisar Kuning (Huang Ti), untuk
pertama kali melakukan penunjukkan sejarawan- sejarawan istana. Huang Ti
merupakan salah satu pembentuk legendaris kebudayaan Cina[3].
Mengenai Dinasti Shang (1751-1111 sM), arkeologi modern
membuktikkan bahwa peramal istana dinasti Shang, telah menyimpan “arsip-arsip”
ramalan mereka yang dituliskan pada tulang dan batok kura-kura. Masa awal
dinasti Chuo (1111-221 sM). Catatan terpisah-pisah, terutama bab tertentu dari
Shu Ching atau “Sejarah Klasik” mencerminkan suatu minat yang terus- menerus
pada sejarah keturunan para raja, tata cara dan legitimasi politik. Zaman
negara-negara berperang (Chan Kuo, 481-221 sM), untuk pertama kalinya muncul
pemikiran-pemikiran Cina yang sistematis. Kebiasaan yang selalu mengambil tokoh-tokoh
sejarah merupakan faktor penting dalam pemikiran Cina.[4]
Confusius (551-479 sM) dan para pengikutnya sangat
menekankan inti moral sejarah. Negara kesatuan yang terbentuk pada tahun 221 sM,
merupakan model perkembangan politik Cina pada masa-masa kemudian. Istana
meneruskan dan mengembangkan tradisi masa lalu dalam hal memperkerjakan
sejarawan yang diberi tugas memelihara catatan-catatan kegiatan kaisar dan
segala macam kejadian penting di dalam kerajaan.[5]
Masa dinasti Han awal (Ch’ien Han, 206 sM-9 sM). Sejarawan
agung Ma-ch’ien menulis Shih Chi,
kitab sejarah pertama yang memuat sejarah Cina dari zaman yang samar-samar
sampai pada kira-kira tahun 100 sM. Masa
dinasti Han Kemudian (Hou Han, 25-220 M). Pan Ku, sejarawan istana, menulis
kitab sejarah yang merupakan buku pertama dari rangkaian “sejarah dinasti”
(tuan-tai shih). Buku ini diberi nama Sejarah Dinasti Han Awal (Ch’ien Han
Shu). Buku Shih Chi dan Ch’ien Han Shu menjadi model yang ditiru
para sejarawan lainnya untuk penulisan buku-buku sejarah dinasti pada masa
kemudian.[6]
Zaman Perpecahan (220-589 sM), dominasi bangsa ‘barbar’.
Budhisme perlahan merembes ke dalam pemikiran bangsa Cina, namun demikian Budhisme
hanya berpengaruh sangat kecil terhadap pemikiran kesejarahan Cina. Masa awal
zaman ini merupakan zaman besar kedua pemikiran kreatif Cina. Liu Hsieh (9465-522
SM), menulis sebuah buku besar mengenai kesusasteraan. Sebagian buku ini
membahas pula berbagai masalah historiografi yaitu pentingnya prinsip-prinsip
umum, batasan-batasan untuk memilih hal-hal khusus, ukuran untuk mempercayai
materi, serta persoalan keobyektifan dan prasangka.[7]
Dinasti Tang (618-906) Zaman keemasan kesenian dan
kesusasteraan. Untuk pertama kalinya sejarah menjadi bahan baku dalam kurikulum ujian negara. Seorang
pejabat negara Tu Yu (735-812) berusaha membebaskan diri dari tradisi-tradisi
catatan dinasti dan menulis T’ung Tien berbentuk ensiklopedia dan dianggap sebagai
sejarah institusional Cina yang pertama. Pada masa awal Tang diadakan perluasan
atas aparat birokrasi yang bertugas mencatat peristiwa-peristiwa, memproses
dokumen, memelihara arsip dan menulis sejarah. Dalam menyusun sejarah dinasti, komisi-komisi
kekaisaran telah menggantikan pengarang perseorangan. Gejala ini mengawali
adanya pembagian historiografi resmi dan tidak resmi yang terus berlangsung
sampai berakhirnya sistem kekaisaran.[8]
Masa Sung (960-1279). Penulisan sejarah para
neo-Confusianisme memperlihatkan suatu kecermatan baru dalam menulis sejarah,
kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber tak resmi dan usaha keras untuk
menerangkan secara rasional yang dikombinasikan dengan kepercayaan kuat akan
kekuatan moral. Seorang sejarawan besar pada masa ini adalah Su Ma-kuang
(1019-1089), karyanya yang terkenal Tzu-chih t’ung-chien merupakan sejarah
Cina dari tahun 403 sM. hingga tahun 959 M. diatur berdasarkan tahun, dan
disajikan dengan jelas.[9]
Masa Dinasti Manchu (Ching, 1644-1911). Pada masa ini
muncul perasaan yang tidak puas atas kekolotan neo-Confusianisme, yang
menyebabkan timbulnya suatu gerakan kritik yang sangat penting, yaitu empirisme-rasional
menjadi inspirasi lahirnya prinsip dan metode baru dalam geografis-historis,
epigrafi, ilmu purbakala dan bidang-bidang lain.[10]
Ketika sistem kekaisaran runtuh, metode dan semangat keraguan sejarawan pun tergambar
secara luas dalam modernisasi historiografi Cina.
1. Pandangan Orang Cina
Tentang Sejarah.
Istilah shih (sejarah) dalam terminologi Cina
memiliki bermacam-macam arti. Konsepsi Cina mengenai sejarah ditentukan oleh
unsur-unsur tertentu dalam pandangan orang Cina mengenai dunia. Adapun
unsur-unsur penentu itu adalah; etnosentris, holisme, pandangan bahwa sejarah
adalah tanggung jawab yang berasal dari zaman keemasan, konsep siklus dalam
sejarah politik, dan pandangan bahwa ada dinamika moral dalam berbagai kegiatan
manusia[11].
2. Bidang dan Tujuan
Historiografi
Tujuan penulisan sejarah terikat dengan keinginan kelas
pejabat negara pada umumnya, yaitu memelihara stabilitas dan ketentraman dengan
cara menjalankan pemerintahan dan menegakkan pengawasan sosial, memelihara
kekolotan Confusianis, memelihara etika-etika dasar Confusianis dalam
masyarakat, pada bidang kesusasteraan
dan kesenian, serta melindungi kedudukan golongan literati dan gentry
dari ancaman kaisar yang otokratis atau golongan yang haus kekuasaan.
Ruang lingkup penulisan sejarah Cina berkisar pada
beberapa hal yang erat kaitannya dengan penulisan sejarah itu sendiri, yaitu pemusatan
perhatian yang besar terhadap sejarah politik dan pelajaran mengenai stabilitas
dan perubahan, sejarah pranata, bagian ekonomi (fungsi reguler pemerintahan), geografi
(sekarang dinamakan geografi administratif), biografi, sedikit perhatian
terhadap kelompok-kelompok yang berlawanan dengan golongan literati, dan sedikit
tentang agama-agama yang dianggap murtad.
3. Metode Sejarah
Metode yang digunakan sejarawan Cina dapat dibagi
menjadi dua kelompok[12];
pertama, metode pencatatan kejadian-kejadian komtemporer. Para sejarawan istana bertugas mencatat setiap hari
segala peristiwa istana. Sejarawan tak resmi, mencatat peritiwa-peristiwa yang
dialaminya. Kedua, metode kompilasi (pengumpulan dan penyusunan)
berdasarkan urutan waktu dari setiap catatan-catatan peristiwa. Dari masa ke
masa sejarawan istana mengedit dan mengambil intisari catatan sehari-hari seta
menyusunnya berdasarkan urutan waktu (kronologis). Hal serupa juga dilakukan
oleh sejarawan tak resmi.
4. Modernisasi Historiografi
Historiografi tradisional Cina yang telah berlangsung
kurang lebih 1000 tahun terhenti karena adanya beberapa hal yang mempengaruhi
perkembangannya, yaitu terjadinya fase-fase runtuhnya sistem kekaisaran di Cina
dan masuknya pengaruh Barat[13].
Gerakan pembaharuan sejarah Cina, mulai nampak pada
gerakan 4 Mei 1919 M. yang dimotori para sejarawan muda yang telah dipengaruhi
oleh pikiran Barat. Banyak di antara mereka pernah belajar di Jepang, Eropa,
dan Amerika Serikat. Gerakan ini pada dasarnya mencari suatu kebudayaan baru
Cina yang dapat diterapkan pada
kebutuhan masyarkat modern. Pada masa ini buku-buku klasik tidak lagi dipandang
sesuatu yang suci, dan secara teliti mulai diselidiki kembali keasliannya
sehingga dapat dipercaya sebagai dokumen sejarah. Dengan menggunakan
teknik-teknik penelitian lapangan yang berasal dari Barat dalam mempelajari
kehidupan desa, cara pemujaan populer dan folklore.[14]
Semua temuan dipergunakan untuk lebih mengetahui
kebudayaan tradisional populer. Di samping itu digunakan pula metode
perbandingan dan meninggalkan kebiasaan lama sejarawan kuno. Usaha-usaha
pembaharuan itu telah menghasilkan penemuan-penemuan baru dan cara baru untuk
mengetahui kehidupan pada masa lalu melalui peninggalan-peninggalan kuno.
Dengan demikian sejarah analitis yang didasarkan pada hipotesa-hipotesa telah
menggantikan cara-cara kompilasi yang telah menjadi tradisi kuno.
Tahun 1930-1945 menjadi masa suram bagi sejarah Cina
akibat dari serangan Jepang. Pada tahun 1945-1949, pemerintah nasionalis
bersikap tidak toleran terhadap pendapat yang berbeda, sehingga keadaan menjadi
tegang dan penindasan makin banyak terjadi. Tahun 1949 para sejarawan harus
memilih untuk tinggal di Cina atau menyingkir ke Taiwan. Akan tetapi kebanyakan dari
mereka memilih tetap tinggal di Cina. Setelah tahun 1949 ada dua pusat
penelitian sejarah yaitu Republik Rakyat Cina (RRC) dan Republik Cina di Taiwan.[15]
Sejak tahun 1949 sejarawan RRC selalu dipaksa pemerintah
komunis untuk menyempurnakan penguasaan atas Marxisme dan menggunakan
teori-teori Marxis guna memunculkan sejarah baru dengan segera, yang cocok
dengan pemerintahan itu. Pada umunya alasan-alasan dogmatik telah mengakibatkan
studi sejarah di Cina menjadi steril. Di Taiwan, Acamedica Sinica
dihidupkan kembali. Universitas Nasional Taiwan mempunyai fakultas sejarah,
dengan demikian terbitan terdahulu dari Academica Sinica dicetak
kembali, akan tetapi suatu kenyataan bahwa masyarakat sejarah di Taiwan
sangat terbatas.[16]
B. Historiografi Jepang
1. Kegunaan
Sejarah
Sejarah
bagi masyarakat Jepang memiliki arti yang penting dalam mencari identitas dan untuk
memberikan pengertian terhadap dunia tentang jati diri mereka. Sejak abad ke-8,
para sejarawan Jepang telah melihat sejarah untuk menjelaskan tata moral dan
politik. Pandangan sejarah tertua dan dan asli yang dianut oleh Jepang timbul
pada masa Jepang masih terasing dari hubungan dan pengaruh kebudayaan Cina. Pandangan
itu percaya “bahwa Jepang adalah pusat dunia, dan ahli warisnya bangga sebagai
golongan utama yang dibentuk disekitar istana kekaisaran dan dilindungi oleh
dewa-dewa (Shinto) sendiri”[17].
Pandangan tentang dunia seperti ini terus hidup hingga zaman modern,
sebagaimana Jepang berpegang teguh pada perasaan lebih tinggi, baik kebudayaan
maupun ras.
Pada
abad pertengahan mulai berkembang Confusianisme yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah politik. Masuknya pengaruh Barat menyebabkan penulisan
sejarah Jepang cenderung untuk mengadakan perubahan dan penyesuaian dalam
konsep maupun metodologinya. Sejarawan Jepang mulai memiliki kemampuan untuk
menggabungkan antara fakta-fakta dasar dengan gejala sebab akibat, dengan
demikian mutu historiografi Jepang mengalami peningkatan.
Historiografi
pada zaman Jepang Modern sejalan dengan keinginan bangsa dalam mencapai
keunggulan dunia. Sejarah diarahkan untuk kepentingan negara, baik untuk
memberikan pengertian kepada rakyat mengenai bahaya dari penerusan nilai-nilai
tradisional maupun sebagai alat untuk membenarkan dalam rangka pembaharuan.
2. Historiografi
Tradisional
Seperti
negara-negara lain, di Jepang juga mengalami bentuk penulisan sejarah
tradisional. Di antara historiografi tradisional di jepang adalah: a). Kojiki[18]
(720) adalah catatan mengenai masalah-masalah kuno, b). Nihon Shoki[19]
(720) atau Babad Jepang, c). Pada abad ke-10 M muncul penulisan sejarah
partikelir seperti monogatori (hikayat) dan kagami (cermin-cermin
kecil) yang merupakan contoh gaya sejarah, seperti cerita tentang Genji yang
ditulis dalam bahasa jepang, Okagami (Cermin Besar) merupakan karya
terkenal yang memadukan antara sejarah Jepang abad ke-11 M dengan bangkitnya
sejarah keluarga Fujiwara yang kemudian menguasai istana.
3. Historiografi Zaman Pertenganhan
Menjelang
abad ke-12 karya-karya sejarah Jepang banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep
karma dan keselamatan dari Buddhis. Sejarah kepahlawanan yang paling terkenal
adalah mengenai perang antara Minomoto dan Taira (Heike Monogatori), ditulis
dan dibacakan terutama untuk pesan pendidikan. Penulisan sejarah pada umumnya
dilakukan oleh para pendeta yang percaya pada uraian-uraian Buddhis mengenai
naik turunnya peruntungan bagi keluarga dan perorangan. Tahun 1222-1282
Nichiren mengemukakan bahwa Jepang adalah negara yang dikodratkan untuk
menyempurnakan kepercayaan Budhis. Gukhanso (bunga rampai dari
pandangan-pandangan yang kurang mengerti) oleh pendeta Fujiwara Jien
(1155-1225) yang menganjurkan konsep kepemimpinan konfusius untuk perilaku
nasehat kaisar. Jinno Shotaki (catatan asal-usul yang benar dari
kaisar-kaisar kedewaan) oleh Jendral Kitabakke Chikafusa (1291-1354), yang
ditulis untuk memberitahukan bahwa ia lahir dari cabang keluarga kaisar.[20]
4. Zaman Tokugawa
Masa
Tokugawa (1600-1868) adalah masa kebesaran penulisan sejarah Jepang sebelum
zaman modern. Muncul perhatian baru mengenai studi Kojiki yang memusatkan
perhatian kembali pada kekaisaran. Hal ini menimbulkan unsur kebangsaan yang
hidup terus dalam masyarakat Jepang. Daftar kumpulan sejarah yang terpenting
adalah Tokugawa Jikki (Sejarah yang benar mengenai keluarga Tokugawa)
yang dibuat tahun 1809 dan 1849.[21]
Honcho
Tsugan (Cermin besar mengenai Jepang) yang selesai
dibuat pada 1670 M. oleh keluarga Hayosi yang dibuat untuk meligitimasi
kekuasaan Tokugawa. Dai Nihon Shi (Sejarah Jepang) disusun dibawah
lindungan cabang Mito
dari keluarga Tokugawa. Hokuseki (1657-1725) yang menulis tentang Dokushi
Yoron (Komentar Sejarah Jepang) yang berisi tentang sistem periodisasi yang
didasarkan atas perubahan-perubahan kekuasaan politik Koshi tsu (survei
sejarah kuno). Rai Sanyo (1780-1830) menulis Nihon gaishi (Sejarah Jepang
tidak Resmi,) yang melanjutkan tradisi cerita sejarah yang berpusat pada Kaisar
Kitabatake. Honawa Hokiichi (1746-1821) dan anaknya yang menulis Gunshu
Ruiju (teks yang diklasifikasikan) yang merupakan perbandingan teks-teks
sejarah[22].
5. Zaman Meiji
Masa
ini adalah masa peralihan dari historiografi tradisional ke historiografi
modern. Karya yang penting pada masa ini adalah Koji-ruien (ensiklopedia
hal-hal kuno) yang disusun oleh Kementerian Urusan Kuil-kuil (1879-1913).
Terjadi dua arus historiografi pada masa ini, yakni: arus resmi (mencoba
mempertahankan nasionalisme Jepang) dan arus swasta yang lebih bersifat
internasional banyak mengambil konsep-konsep Barat (Bummei ron no gairyaku
dan Nihon kaika Shosi). Ludwig Reiss (1861-1928) dari Jerman yang diundang
ke Tokyo untuk mendirikan jurusan sejarah di
Universitas Tokyo.
Tahun 1895 Universitas Tokyo menyusun Dai Nippon Shiryo (Bahan-bahan
Sejarah Jepang).[23]
6. Permulaan
Historiografi Modern
Zaman
permulaan historiografi modern ditandai oleh hasil yang nyata menurut empat
garis-garis besar: (1) Kesempurnaan dari suatu metodologi sejarah modern, (2) Penulisan studi-studi monografi secara
khusus mengenai pranata-pranata dan aspek-aspek yang khas dari peradaban Jepang,
(3) Persiapan survei-survei sejarah secara umum, dan (4) Penerbitan buku-buku
referensi dan bahan-bahan sumber.[24]
Banyak
karya yang dihasilkan pada masa ini, misalnya: pada 1908 Kokushi no kenkyu (Studi Sejarah Jepang), pada 1922 Nihon
Bunkashi (Sejarah Kebudayaan Jepang), pada 1926 Sogo Nihon Shi taiken
(Survei Sintetis Sejarah Jepang 20 jilid). Lalu lahir sejarawan-sejarawan
hebat, seperti Nishida Naojiro, Tuda Sokichi, Honyo Eijiro, Ono Takeo dan
Tsuchiya takao. Selain itu juga muncul perhimpunan-perhimpunan sejarah seperti:
(1) Shigakhai (Masyarakat Sejarah Jepang), (2) Keizaishi Kenkyukai
(Masyarakat untuk Studi Sejarah Ekonomi), (3) Shakai Keizaishi Gakkai
(Masyarakat Sejarah Sosial dan Ekonomi), (4) Reikishigaku Kenkyukai
(Masyarakat Ilmu Pengatahuan Sejarah).[25]
Tahun
1930 Jepang mengadakan ekspansi ke daratan dan melancarkan perang pasifik. Hal
ini menyebabkan adanya perpecahan di kalangan sejarawan, antara antara
cita-cita kiri dan kanan: (a) Sejarawan Marxis: Menulis kembali
perkembangan nasional Jepang dari primitif hingga menjadi masyarakat sosialis, sebagai kritik kapitalis dan imperialis, muncul
buku Nihon Shihonshugi hattasu Shi Koza (Esai mengenai sejarah
perkembangan kapitalisme di Jepang) tahun 1932. (b). Sejarawan
Nasionalis: menulis sejarah nasional, sejarah yang menekankan pada mitos-mitos,
mengenai keunggulan mereka.[26]
7. Historiografi pasca Perang
Setelah
mengalami kehancuran dan kekalahan dalam PD II, Jepang mengalami rehabilitasi
Ekonomi dan spiritual sedikit demi sedikit. Selama lima belas tahun pertama setelah PD II
beberapa subyek menjadi berlawanan termasuk sejarah. Adapun perubahan-perubahan
yang terjadi antara lain: a) Ekstrim Sosialis dimana bangsa dan kaisar
keduanya ditolak secara total oleh masyarakat, b) Tema-tema umum,
perjuangan melawan feodalisme, absolutisme, fasisme dan kapitalisme.[27]
Perkembangan
Historiografi Jepang semenjak tahun 1950 antara lain: a) terbit ensiklopedia
baru, sejarah-sejarah survei baru dan karya-karya penelitian dasar, b) seeluruh
literatur sejarah Jepang pada hakekatnya telah diperbaharui, seri dokumen baru
yang menyusuri lebih dalam sampai masalah-masalah kecil mengenai kegiatan
pemerintahan maupun ekonomi dengan kecermatan dan ketetapan yang baru, c) sangat
empiris dan sedikit sekali dipengaruhi oleh masalah-masalah yang bias
penafsirannya.[28]
C. Historiografi
Afrika
Unsur inti dalam historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi
kepercayaan kepada adanya kelanjutan hidup di antara semua orang Afrika. Di
setiap tempat di daerah sub-sahara Afrika didapati kepercayaan akan adanya
hubungan yang berlangsung antara yang sudah mati dengan kehidupan dari yang
masih hidup masa kini dan dari generasi-generasi yang akan datang.[29]
Hal ini dinyatakan dalam kepercayaan bahwa setiap komuniti didirikan oleh
seorang nenek moyang atau sekelompok nenek moyang, dan apapun kedudukan dan yang ada dalam komuniti itu kesemuanya
karena nenek moyang. Penghormatan kepada para nenek moyang sering kali menjadi
pemujaan. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh para nenek moyang adalah pertimbangan
dan sangsi yang ampuh dalam masyarakat-masyarakat Afrika.
1. Tradisi tentang Asal Mula
Di Afrika, setiap komuniti mempunyai tradisi yang tetap
mengenai asal mulanya. Komuniti ini mungkin terpecah-pecah, berimigrasi, dan berasimilasi
dengan unsur-unsur yang baru, atau ditaklukan oleh yang lainnya dan diserap
oleh imigran-imigran baru. Pada setiap tingkat dari transformasi, tradisi
berada dalam pengkristalan kembali untuk mengakomodasi kondisi-kondisi yang
berubah, dan suatu tradisi baru mengenai asal mula diformulasikan oleh komuniti
yang baru. Tradisi-tradisi inilah yang menjadi dasar pokok dari pandangan
komuniti mengenai sejarah. Proses pembuatan tradisi dan akulturasi di dalam
komuniti, dan dari penyampaian tradisi ke generasi-generasi yang berikutnya,
mengembangkan suatu kesadaran sejarah yang menjadi tersebar luas di Afrika.[30]
Meskipun tradisi asal mula ini tidaklah mengusahakan
suatu penjelasan secara sejarah di dalam pandangan modern Eropa mengenai
teks-teks dan kronologi yang dapat dibuktikan. Mereka hanya mengembangkan
pengertian dan penghormatan terhadap pranata-pranata dan praktek komuniti, dan
mereka memberikan penjelasan-penjelasan mengenai dunia sebagaimana dilihat oleh
komuniti. Penjelasan yang diberikan belumlah bersifat historis tetapi lebih
banyak bersifat filsafat, kesusasteraan, dan pendidikan. Yang mana sejarah dan
mitos menjadi satu dan merupakan suatu bagian dari filsafat hidup.
Tradisi bagi mereka, tidak hanya menjelaskan hubungan
antara para nenek moyang dari beragam komuniti, tetapi juga antara komuniti
yang ada, para nenek moyang dan dewa-dewa.[31]
Hal ini dinyatakan dalam bentuk-bentuk cerita, dalam puisi-puisi suci, upacara-upacara
ritual, dan manifestasi-manifestasi keagamaan lainnya. Tradisi adalah bagian
dari filsafat komuniti, bagian dari cara hidup yang khas dalam komuniti itu.
Jadi tidak ada konsep sejarah universal yang meluas sampai keluar kehidupan
sesuatu komuniti. Pembuatan dan penyampaian tradisi antara satu tempat dengan lainnya berbeda. Hal itu sangat
bergantung kepada luas, sifat alamiah, kepercayaan, dan sumber-sumber
penghasilan dari suatu komuniti tertentu.
2. Tradisi Cerita Lisan
Cara yang paling umum dalam penyampaian tradisi adalah
melalui cerita-cerita, fabel-fabel dan pribahasa-pribahasa yang diceritakan
oleh orang-orang yang lebih tua kepada generasi muda sebagai bagian dari
pendidikan umum. Hal itu disampaikan dalam berbagai kesempatan bercerita,
seperti sesudah makan malam keluarga, selama pesta-pesta bulan purnama. Seperti
menceritakan asal mula adanya hubungan dari seluruh komuniti, keluarga, atau
klan tertentu, meliputi kejadian-kejadian yang dapat diingat, khususnya hal-hal
yang terjadi dua atau tiga generasi terdahulu.[32]
Ada juga tradisi-tradisi yang disampaikan secara formal, umpamanya yang
berhubungan dengan ritual masa dewasa, inisiasi ke dalam tingkat-tingkat umur
dan kelompok-kelompok rahasia, atau selama latihan atau pendidikan untuk menjadi pendeta atau ahli agama,
prosesi untuk calon raja yang terpilih.
Dengan demikian, proses penyampaian tradisi tidak dapat
dipisahkan dari proses pembentukan tradisi. Tradisi dibuat oleh mereka yang
menyampaikannya; orang-orang yang lebih tua di desa atau klan, dan seluruh
unsur yang terlibat dalam proses itu.
3. Bentuk-Bentuk Tradisi
Tradisi itu ada yang berbentuk atas dasar kenyataan
sejarah. Ada
pula yang berbentuk atas dasar kesusasteraan dan filsafat[33].
Adapun tradisi-tradisi yang bersifat kenyataan sejarah, seperti daftar-daftar
formal dari raja-raja dan pemegang jabatan lainnya, kronik-kronik dari setiap
masa pemerintahan, pemberian-pemberian gelar, dan puisi-puisi pujian yang
sering meliputi kritik langsung maupun tidak langsung, geneologi-geneologi, dan
hukum-hukum atau adat istiadat tertentu, serta biografi yang simbolik.
Lalu tradisi-tradisi
yang lebih berbentuk kesusasteraan meliputi pribahasa-pribahasa atau ungkapan-ungkapan, dan lirik-lirik. Ada yang bersifat umum dan
ada pula yang bersifat khusus dengan kelompok seniman tertentu, tingkatan umur,
dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Sedangkan tradisi yang lebih bersifat
filsafat terdapat pada do’a-doa suci, puisi-puisi pujian kepada dewa-dewa,
puisi-puisi suci, nyanyian-nyanyian berkabung, dan hymne-hymne.
4. Pengaruh Asing dalam Historiografi Afrika
a. Pengaruh Ethiopia
Telah ada tradisi-tradisi sejarah di Afrika yang
mempengaruhi historiografi Afrika kemudian. Seperti tradisi sejarah Ethiopia,
yang sebagian bersifat Afrika dan sebagian lagi berinspirasikan Yudea-Kristen. Seperti
tentang keunggulan dari dinasti Solomon, kesatuan dari gereja dan negara
menjadi kekuatan-kekuatan sejarah yang dinamis. Seperti di bagian-bagian lain
Afrika, pada abad ke-12 Ethiopia
mengembangkan suatu legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan
tanah suci. Itu adalah tradisi tertulis tercakup dalam Buku Raja-Raja
yang menjadi acara yang utama, dalam pentahbisan raja.[34]
Hal itu dianggap memberi pengaruh terhadap historiografi Afrika.
Sebenarnya yang lebih berhubungan dengan historiografi
Afrika adalah tradisi-tradisi dari orang-orang Barbar[35].
Seperti mayoritas orang Afrika lainnya, Orang barbar amat sadar akan adanya
hubungan yang berlangsung terus menerus dengan masa lampau. Sebagai bentuk
reaksi mereka terhadap agama Kristen dari Romawi dan Islam dari tanah Arab,
mereka memanifestasikan suatu sikap mistik yang berbeda dan dikombinasikan
dengan penghormatan-penghormatan kepada para nenek moyang. Sikap ini
menghasilkan biografi dari orang-orang suci, bukan sejarah yang bersifat
kritis, tetapi hal itu sendiri adalah metode untuk menyucikan dan mengabadikan
kebaikan-kebaikan sosial dan agama dari rakyat. Di dalamnya terdapat pernyataan
kesusasteraan yang berisikan penghormatan terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan
para nenek moyang, sama dengan tradisi-tradisi yang terdapat di bagian-bagian
lain Afrika.
b. Pengaruh Islam
Pengaruh Islam tidak hanya penting di Afrika Utara
tetapi juga di Afrika Timur, seluruh daerah Sudan, dan daerah-daerah lain.
Seperti pengaruh geneologi, Barbar memasukan unsur ini ke dalam penghormatan
kepada para leluhur dalam bentuk memeriksa dan mengikuti jejak geneologi
spiritual para pemimpin Islam. Penulis-penulis Islam menghasilkan tarikh dan
kronika, khususnya antara abad-abad ke-11 dan ke-17. Kesemua ini meliputi
catatan-catatan berdasarkan pengamatan, tradisi lisan, dan bukti-bukti dari
catatan-catatan lebih awal yang dibuat oleh ahli bumi, pengembara dan pedagang.
Penulis-penulis Islam tertarik kepada penyebaran dan pengaruh Islam, serta
kepada kehidupan keagamaan dan ekonomi dari pusat-pusat utama agama Islam.
Faktor-faktor ini berdiri sendiri di luar tradisi-tradisi dan kehidupan Afrika
secara menyeluruh. Tradisi-tradisi rakyat dibuat tertulis, pada umumnya dalam
bahasa Arab, tetapi kadang juga di dalam tulisan Arab dengan bahasa Lokal.
Catatan itu seputar kepribadian tokoh-tokoh komuniti Islam bukan pada
negara-negara atau klan-klan yang tradisional.
Diakui, bahwa Ibnu Khaldun, sarjana Tunisia yang terkenal dari abad ke-14, memiliki
karya-karya terpenting penting dalam historiografi. Ia menekankan pentingnya
sosiologi bagi sejarah. Ia mempelajari masa lampau bukan sekedar
kegiatan-kegiatan individual tetapi juga menganalisa hukum-hukum, adat
istiadat, dan pranata-pranata dari berbagai bangsa, begitu juga hubungan antara
negara dan masyarakat. Seharusnya hal ini menjadi basis membuat suatu sintesis
dari tradisi-tradisi Afrika yang banyak ke dalam suatu sejarah dari benua ini,
tetapi belum termanfaatkan dengan baik. Karena mereka disibukan dengan
keputusan-keputusan, peperangan, dan politik dari para raja. Terlebih lagi, pada
abad ke-19, pendekatan legal dan biografi diperluas dengan memperhatikan
faktor-faktor sosial dan ekonomi, tetapi bukti-bukti dokumen menjadi sangat
penting bagi sarjana-sarjana Eropa, oleh karena itu mereka menyamakan
dokumen-dokumen tertulis sama dengan sejarah. Jadi, ketiadaan dokumen-dokumen
tertulis oleh mereka dianggap sama dengan tidak ada sesuatu kejadian yang
berharga bagi studi sejarah.
c. Pengaruh Eropa dan Perkembangan Historiografi Afrika
Pada abad ke-19 tatkala pengaruh Eropa masuk ke Afrika,
pengaruh yang dibawa tidak dibangun di atas tradisi-tradisi sejarah yang ada,
tetapi menentang dan menggantikan tempat tradisi-tradisi sejarah tersebut. Pandangan
Eropa tentang sejarah dokumenter membantu propoganda penguasa-penguasa kolonial;
Afrika tidak mempunyai sejarah tercatat yang ada harganya; karena sejarah dari
para pedagang Eropa, penyebar agama, penyelidik, penakluk dan penguasa yang
membuat sejarah Afrika, walaupun ada perhatian kepada sumber-sumber Arab dan
lainnya.
Para ahli sejarah Eropa abad ke-19 dan permulaan abad
ke-20 berusaha untuk menjelaskan perdagangan budak di daerah Atlantik;
keunggulan dari teknologi Eropa, ketaklukan Afrika, tidak dilihat dari aspek
studi sejarah dari benua ini, tetapi dilihat dari segi prasangka-prasangka
rasial dan psikologis tentang kekalahan yang merupakan ciri utama dari
orang-orang yang berkulit hitam. Bahkan kelompok-kelompok penyebar agama kristen
mengintroduksi penjelasan agama yang mengatakan “bahwa orang-orang Afrika
adalah anak-anak Ham dan mereka berada di bawah kutukan Nabi Nuh untuk menjadi
pemotong-pemotong kayu dan penimba air bagi mereka yang berkulit putih”.[36]
Dengan demikian historiografi Afrika hanya menjadi suatu alat pembenaran bagi
imperialisme Eropa.
Orang-orang Afrika yang berpendidikan dalam
bahasa-bahasa Eropa pada mulanya menerima teori-teori ini, tetapi karena
kesadaran agar sejarah tradisi Afrika tetap hidup, mereka segera menentang
pikiran-pikiran yang tidak masuk akal dari ahli-ahli sejarah Eropa. Mereka
mulai mencatat hukum-hukum, adat istiadat, peribahasa-peribahasa,
ungkapan-ungkapan, dan tradisi-tradisi sejarah yang ada pada komuniti-komuniti
mereka sendiri. Mereka juga mencatat kejadian-kejadian penting yang terjadi
pada abad ke-19, terutama menjelang Eropa berkuasa atas Afrika. Di antara para
penulis yang terpenting adalah James Afrikanus harton dari Sierra Leone, Carl C. Reindorf dan John M.
Sarbah dari Ghana, Otomba
Payne dan Samuel Johnson dari Nigeria.
Sejak Perang Dunia Pertama, Revolusi Rusia, dan Kongres
Nasional India, mengawali langkah para ahli antropologi menjadi lebih tidak
terikat kepada pemerintah kolonial, lebih tidak etnosentris, dan sebagai
akibatnya mereka menjadi lebih menghargai kebudayaan dan tradisi-tradisi
sejarah Afrika. The International Institute of African Language and Cultures
di London mulai menerbitakan majalah Africa, dan Perancis mendirikan Institut
Francais d’Afrique Noire di Afrika barat. Journal of Negro History,
di AmerikaSerikat, terutama berkepentingan dengan sejarah orang kulit hitam di
Amerika, menarik perhatian terhadap kemungkinan-kemungkinan sejarah Afrika.
Ahli-ahli antropologi seperti Melville J. Herskovits mulai memperhatikan
kebudayaan Afrika secara serius dan mencoba memahami Afrika masa lampau. [37]
Gejolak perhatian terhadap historiografi Afrika baru
datang bersamaan dengan gerakan menuju kemerdekaan, yang menyusun langkahnya di
Afrika selama dan sesudah Perang Dunia II. Gerakan nasionalis secara tegas
menolak penilaian orang Eropa terhadap masa lampau Afrika dan menuntut suatu
orientasi yang baru dan perbaikan fasilitas-fasilitas pendidikan untuk
menghasilkan penilaian kembali. Menjelang tahun 1940-an, para peneliti Afrika dengan
keras menyatakan, “bahwa sejarah Afrika haruslah sejarah mengenai orang-orang
Afrika dan bukan orang-orang Eropa yang ada di Afrika, bahwa catatan-catatan
lokal dan tradisi-tradisi sejarah harus digunakan untuk menambah arsip-arsip
Eropa, dan tradisi lisan haruslah diterima sebagai material yang benar untuk
penelitian sejarah”[38].
Akhirnya pendekatan yang baru ini menghasilkan karya-karya seperti Trade and
Politics in the Niger Delta, dan The Egba and Their Neighbours.
Setelah itu, pendekatan interdisipliner dalam kajian
sejarah telah mendorong arah yang menghasilkan bagi historiografi Afrika, dan
menyebabkan terjadinya tiga perkembangan utama. Yang pertama,
dibentuknya pusat-pusat atau institut-institut khusus studi-studi Afrika, di
mana ahli-ahli sejarah, antropologi, ilmu bahasa, dan ilmu purbakala dapat
bekerja sama, baik dalam penelitian maupun di dalam training ahli-ahli
sejarah. Kedua, berdirinya proyek-proyek kebudayaan sejarah yang khusus,
seperti proyek-proyek Benin
dan Yoruba, di mana tim terdiri dari berbagai latar belakang disiplin ilmu
bekerja sama untuk mengkaji sejarah kebudayaan. Ketiga, pembentukan
perkumpulan-perkumpulan dan diadakannya konperensi atau kongres secara periodik
mengenai sejarah Afrika atau studi-studi Afrika secara umum, membuat para ahli
duduk bersama menyoroti berbagai bidang ilmu pengetahuan. Usaha-usaha itu telah
menghasilkan koleksi dan penilaian material untuk sejarah Afrika.
Lalu, sejak berakhirnya perang, banyak negara-negara
Afrika yang mendirikan arsip-arsip nasional. Hal ini mendorong pengelolaan dan
penggunaan arsip-arsip pemerintah, misi, perdagangan, dan perseorangan di
Eropa. Seluruh material yang ada hubungan dengan Afrika semuanya disalin dan
dipindahkan ke pusat-pusat arsip dan tempat-tempat belajar di Afrika, yang mana
arsip-arsip ini ditambahi dengan catatan-catatan lokal dalam bahasa Eropa,
Arab, dan bahasa-bahasa Afrika. Pada saat itu, para ahli sejarah Afrika juga telah
memulai penggunaan standar dan metodologi yang ketat di dalam pengumpulan data.
D. Historiografi
Eropa
Historiografi Eropa Kuno jauh berbeda dari historiografi
tradisional negara-negara lain. Hal ini dikarenakan dalam historiografi kuno
tidak mengutamakan mitos dan theogoni. Orang-orang Yunani lebih mengutamakan
rasionalis dan demokrasi. Dan yang jelas bahwa historiografi Eropa Kuno
berorientasi pada perkembangan.[39]
Dalam historiografi Eropa kuno mengakar kuat rasa patriotisme sehingga
tulisannya pun banyak mengangkat tentang perang dan kejayaan suatu imperium. Sebelum
adanya historiografi Eropa kuno, suatu
sejarah pada awalnya berbentuk lisan atau yang lebih dikenal dengan tradisi
lisan. Akan tetapi setelah manusia mengenal tulisan maka penyampaian sejarah
ini pun berubah menjadi tradisi tulis. Penulisan awalnya masih berbentuk puisi atau
syair[40].
Bentuk ini kemudian berubah menjadi prosa[41]
setelah adanya usaha penulisan sejarah oleh Herodotus.
Tulisan sejarah berkembang menjadi sebuah karya dokumen
pada masa Thucydides. Selain itu dalam karyanya digunakan sebuah metode, yaitu
metode kritis untuk melakukan kritik terhadap sumber sehingga didapatkan sebuah
karya yang akurat dan obyektif. Metode ini masih digunakan dan berkembang pada
masa Polybius.
1. Sejarawan
pada Masa Eropa Kuno
a. Herodotus
Herodotus dikenal sebagai Bapak Sejarah. Herodotus
merupakan Pelopor perubahan bentuk puisi menjadi prosa. Penulisan bentuk prosa
sedikit demi sedikit telah merubah tradisi yang ada, hal ini dikarenakan
penulisan sejarah sudah berusaha menghilangkan unsur theogoni dan mitos. Dalam
karyanya, Herodotus berusaha untuk merubah theogoni dan mitos menjadi rasional.
Selain menulis tentang sejarah, Herodotus juga menulis tentang Sosiologi dan
antropologi. Karya Herodotus yang paling populer adalah “Greco-persian Wars”.
Perang Yunani-Persia terjadi pada tahun
460 – 479 sM yang menceritakan tentang Perang antara peradaban Hellenic dan
timur (Persia),
yang akhirnya dimenangkan oleh Yunani. Dengan karya ini Herodotus mencoba untuk
merintis penulisan sejarah dengan menggunakan unsur kajian ilmiah. Dalam
tulisannya dijumpai keanekaragaman pengalaman dan aktivitas dari berbagai
tempat di masa lalu. Kecermatan dalam penulisan menimbulkan kesan bahwa semua
yang ditulisnya nampak sekali seperti laporan pengamatan mata. Selain itu
Herodotus juga menggunakan sumber lisan untuk menyusun karyanya. Ide-idenya
banyak mempengaruhi gaya
para sejarawan dunia kuno, namun bukan pada isinya.
b. Thucydides
Thucydides adalah seorang Jenderal Perang Athena dan
terlibat langsung dalam Perang Peloponesia antara Athena dan Sparta. Ia menulis tentang Perang ini. Karya
ini mengungkap perang antara demokrasi dan tirani yang dimenangkan oleh Athena.
Tulisannya ini dianggap sebagai laporan perang yang tidak memihak, sejarah yang
ditulisnya terbatas pada politik, diplomasi dan perang, tetapi akurat, ia juga
berusaha menghindari penjelasan supernatural seperti tulisan puisi. Meskipun
tulisannya dikatakan tidak berat sebelah dan ditulis secara mendetil, akan
tetapi aspek subjektifitas itu tetap ada, mengingat dirinya adalah seorang
Jenderal Perang Athena. Karya Thucydides memberikan sumbangan besar dalam ilmu
sejarah. Thucydides telah berusaha untuk menggunakan kritik sumber dan metode
sejarah dalam penulisannya. Thucydides beranggapan bahwa kekuatan dalam
penulisan sejarah tergantung pada data yang akuat dan relevansi dengan
menyeleksi berbagai sumber, sehingga diharapakan tulisannya nanti akan menjadi
sebuah karya sejarah kritis. Dia menggunakan berbagai sumber termasuk inskripsi
dan bukti untuk melengkapi dan memperkuat catatannya tentang peristiwa-peristiwa,
selain itu juga memakai bukti material untuk menyempurnakan catatannya tentang
kejadian masa lampau. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa Thucydides memang
berusaha untuk membuat sebuah karya yang bagus. Karena prinsip yang dianutnya
ini, ia mendapatkan gelar sebagai “Bapak Sejarah Kritis”.[42]
c. Polybius
Polybius adalah orang Yunani yang dibesarkan di
Romawi. Karya-karyanya banyak mengungkap
tentang perpindahan kekuasaan dari Yunani ke Romawi. Sama dengan Thucydides,
Polybius juga berjasa dalam pengembangan sejarah kritis. Sedangkan dalam
metodologi sejarah Polybius mengemukakan pentingnya geografi dan tipografi
dalam sarana pendukung penulisan sejarah. Dia beranggapan bahwa sejarah adalah
filsafat yang mengajar melalui contoh.[43]
Polybius membedakan analisis dalam 3 unsur, yaitu awal
(archai), dalih (Prophaseis) dan sebab (aitiai). Dalam prinsipnya bahwa manusia
itu haruslah mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah moral dan
pergantian nasib.[44] Akan tetapi karya Polybius ini dalam tulisannya
bersifat didaktis, terlalu bertele-bertele sehingga karyanya tidak terlalu
populer.
d. Titus Livius
Livius merupakan sejarawan dari Romawi, sehingga
karya-karya yang dihasilkan berkisar pada imperium Romawi. Karyanya yang
terkenal adalah “History of Rome”[45].
Sebelum menulis, Livius membaca terlebih dahulu, menerjemahkan dan menyusun
ulang informasi agar sesuai dengan peristiwa dan tema-tema penting, dan
berusaha menyelesaikan hal-hal yang kurang familiar.
Livius merupakan orang pertama yang menggunakan
imajinasi dalam karya-karyanya, maka dari itu Livius mengorbankan kebenaran
sejarah demi sebuah retorika, hal ini dikarenakan dia telah menulis sejarah
Romawi sebagai sebuah negara dunia dengan segala semangat patriotismenya. Kisah
tentang berdirinya kota
Roma menjadi campuran antara fantasi dan fakta. Hal ini menyebabkan dia disebut
sebagai sejarawan yang tidak ahli.
e. Tacitus
Tacitus merupakan sejarawan Romawi yang berusaha untuk
mengemukakan “sebab moral” keruntuhan Romawi. Tacitus berusaha untuk melihat ke
belakang bukan kedepan untuk melihat akar-akar persoalan-persoalan politik yang
terjadi di tahun-tahun awal kerajaan Roma. Selain itu dia juga menulis tentang
bangsa Jerman dan menjadi satu-satunya literatur tentang Jerman. Banyak para
sejawaran yang berpendapat bahwa karya-karya Tacitus memiliki kualitas sastra
yang cukup tinggi.[46]
Dia mengisahkan secara detail mengenai sebuah kerajaan yang tengah bergerak
menghancurkan dirinya sendiri. Banyak orang yang mengatakan bahwa Tacitus
merupakan “ suara otentik Roma kuno dan pelukis besar zaman Kuno”. Setiap
halaman dari tulisannya menunjukkan kemampuan retorik. Tacitus memakai orasi
langsung dan orasi buatan untuk melukiskan karakter, meringkaskan pemikiran
kelompok-kelompok, menyampaikan rumor masyarakat, memperkuat penegasan dan
menegaskan posisi moral-politik.
2. Ciri-ciri
Historiografi Eropa Kuno
Beberapa ciri-ciri historiografi Eropa kuno antara lain[47]:
a. Visi
Visi historiografi Eropa Kuno lebih pada rasionalistis
dan demokratis. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Yunani dan
romawi menganut banyak dewa, akan tetapi mereka tidak pernah berorientasi pada
dewa sentries, walaupun demikian mereka masih memegang mitos dan theogoni. Dan
yang utama pada masa ini dalam penulisannya ditujukan pada jiwa patriotik.
b. Isi
Isi dari tulisan yang dihasilkan pada masa ini adalah
yang berisikan kepahlawanan. Artinya tulisan diorientasikan pada perjuangan
karena yang ditulis masih seputar perang dan juga kekuatan dari sebuah imperium
besar. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa para penulis cenderung berat
sebelah. Hal ini dikarenakan dalam posisinya para penulis berada dalam pihak
yang menang ketika suatu perang tersebut berlangsung, baik mereka ikut langsung
maupun sebagai pengamat saja.
c. Penyajian
Penyajian historiografi Eropa kuno tidak hanya dalam
satu bentuk penyajian saja, akan tetapi bervariasi. Dalam karya Herodotus
ditulis dalam bentuk prosa (logographoi). Bentuk ini merupakan pembaharuan dari
bentuk puisi atau syair. Sedangkan pada karya Thucydides, Polybius, Tacitus
maupun Livius karyanya berbentuk dalam dokumen. Sebagai contohnya adalah perang
Peloponesos karya Thucydides. Penyajian dalam bentuk dokumen ini dipengaruhi
oleh gaya dari
penulis sendiri yang sudah mulai menggunakan sejarah kritis dan metode sejarah
dengan menghilangkan mitos dan theogoni.
Menurut R.G. Collingwood dalam bukunya The idea of
History bahwa ada dua macam karakteristik historiografi pada masa
Yunani-Romawi, Yaitu: pertama, bersifat humanistis dalam penulisannya,
manusia mendapatkan posisi yang utama sebagai objek sejarah. Segala
tindak-tanduk manusia seperti perbuatan manusia, kesuksesan, kegagalan,
dilukiskan dalam suatu karya sejarah. Kedua, gaya penulisannya menyinggung sisi subtansial
dalam penulisan historiografi, para ilmuan mendasari penulisanya dengan
pola-pola metafisi. Sisi-sisi metafisi tidak sama dengan hal-hal yang berbau
metafisis.[48]
4.
Historiografi Eropa Modern
Sejak Eropa dilanda Zaman Kelam[49]
(Dark Ages) sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Lima abad sesudah Zaman Pertengahan merupakan
merupakan titik awal Zaman Modern[50]
yang ditengarai dengan penggunaan mesin uap dan berbagai mesin logam lain dalam
dunia industri di Inggris dan Perancis. Tidak hanya membawa dampak pada
motivasi efisiensi dan efektifitas produksi, lebih lanjut, perubahan tersebut
membawa dampak-dampak sosial dan ekonomi di Eropa khususnya, dan dunia secara
umum.
Di Eropa revolusi[51]
besar dalam ilmu pengetahuan baru terjadi kurang lebih abad ke-17, namun
Renaissance dapat dianggap sebagai masa persiapan. Hasil karya golongan Humanis
memberi sumbangan berharga, contoh: karya Leonardo da Vinci berupa mesin bubut,
pompa, alat peperangan, pesawat terbang. Selain itu masih ada penemuan lain
yaitu mesin cetak, mesiu, kompas magnetik, peta dan lain-lain.
Sejak zaman purba, manusia memiliki kecenderungan untuk
membuat alat dalam proses menuju sebuah tujuan. Alat yang dimaksud bisa berupa
organisasi kerja, proses-proses kerja, dan alat sebagai sebuah benda (alat
bantu/pesawat sederhana). Karena manusia adalah mahluk pemikir (homo sapiens)
selain sebagai manusia tukang (homo faber), seiring perkembangan waktu,
maka kreasi-kreasi pembaruan alat selalu dilakukan. Tahapan evolusi manusia
hingga abad ke-18 kiranya sudah sampai pada tahapan yang mencukupi untuk dikatakan
civillized[52].
Mengingat organisasi-organisasi persekutuan sosial, organisasi produksi,
organisasi politik sudah lama berdiri. Khusus dalam hal organisasi produksi,
pada abad ke-18 di Eropa telah mengalami lompatan yang cukup signifikan.
Seiring dengan perkembangan lebih lanjut dari industri rumah tangga dan
sistem-sistem Factory, alat-alat berupa mesin-mesin logam bermunculan.
Semangatnya berkisar pada perbaikan kualitas hidup, lebih spesifik lagi pada
pemenuhan prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas dalam produksi. Sebuah
revolusi baru manusia telah dimulai dengan lebih khusus berkutat dengan hal
industri. Oleh karenanya, Revolusi Industri pada abad ke-18 di Eropa telah
menapaki babak pertama. Secara otomatis, Revolusi Industri ini telah berdampak
pada bidang-bidang ekonomi, karena alat-alat baru yang dikembangkan merupakan
bagian dari usaha-usaha pengembangan industri manufaktur Eropa. Namun, selain
bidang ekonomi, Revolusi Industri di Eropa juga membawa implikasi-implikasi
dalam bidang sosial, karena relasi antar manusia menjadi terpengaruh atasnya.
Seperti halnya telah diuraikan di atas, bahwa Revolusi
Industri adalah bagian dari periodisasi sejarah Eropa. Menjadi periodisasi
tersendiri karena Revolusi Industri membawa masyarakat Eropa pada zaman baru,
zaman modern, zaman di mana yang lama ditinggalkan dan yang baru dimulai.
III.
Penutup
Berangkat dari uraian terdahulu dapat disimpulkan
mengenai historiografi masing-masing negara sebagai berikut:
Pertama, historiografi
Cina berawal dari perpaduan magico-religio dengan menyimpan
arsip-arsip atau catatan-catatan di dalam istana. Kemudian dimantapkan melalui
tradisi penunjukan sejarawan istana pada masa kaisar Hung Ti yang terus
berlanjut hingga runtuhnya sistem kekaisaran.
Ruang lingkupnya meliputi; sejarah politik, pranata, ekonomi, geografi
administratif, dan biografi. Metode yang digunakan pada masa klasik berupa;
pencatatan dan kompilasi. Kemudian historiografi
Cina modern ditandai dengan runtuhnya sistem kekaisaran, masuknya pengaruh
Barat, penggunaan teknik dan metode penulisan sejarah modern; sejarah analitis
yang berdasarkan atas hipotesa-hipotesa, sekaligus menggantikan metode
kompilasi yang merupakan tradisi klasik.
Kedua, Historiografi
Jepang dibangun atas identitas moral dan politik. Hal ini terus tercermin
hingga historiografi modern Jepang sejalan dengan keinginan bangsa dalam
mencapai keunggulan dunia, dan kepentingan negara. Historiografinya terbagi ke
dalam beberapa periode; tradisional (coraknya; kajeki, nihon shaki, monogatori,
kagami, dan okagami), pertengahan (pengaruh budhis dan confusianisme), zaman
Tokugawa (membahas tentang kekaisaran), zaman Kenji (peralihan
tradisional-modern), zaman modern (metodologi baru, monografi, survei, dan
penerbitan referensi dan sumber, dan pasca PD. II. (adanya aliran ekstrim
sosialis, tema-temanya umum, terbit ensiklopedia baru, pembaharuan semua
sumber, dan bersifat empiris).
Ketiga, historiografi
Afrika cikal bakalnya terpusat pada tradisi yang lahir dari kepercayaan bahwa
ada hubungan yang terus berlangsung antara yang hidup dengan yang sudah
meninggal, hal ini diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. Adapun
historiografi awal ini berupa kenyataan sejarah, kesusasteraan dan filsafat. Historiografi
Afrika dipengaruhi oleh historigrafi Ethiopia, Islam, dan Eropa. Sebelum
akhirnya mulai menunjukan ke arah historiografi yang lebih baik menjelang dan
sesudah kemerdekaan.
Keempat, Historiografi
Eropa kuno dilandasi oleh rasionalitas dan demokrasi. Disajikan dalam bentuk
syair, prosa dan menggunakan metode sejarah kritis. Historiografi Eropa kuno
isinya identik dengan masalah perjuangan dan patriotisme. Sedangkan pada masa
modern banyak dipengaruhi oleh revolusi industri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Abdurrahman Surjomiharjo. 1985, Ilmu Sejarah
dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia.
Coolingwood, R. G. tt, The Idea of History.London: oxford University
Kartodirdjo, A. Sartono, 1970. Lembaran Sejarah, Jogjakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Kaswani, Anggar. 1998 Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta. Bentang. 1995
W.J. Van der Meulen. S.J. tt., Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta.
W.J. Van der Meulen. S.J. tt., Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta.
Widiyanto, Danar. 2002, Perkembangan
Historiografi: Tinjauan di Berbagai Wilayah Dunia, Yogyakarta:
Universitas Yogyakarta Press.
Tamburaka, M.A., Prof. Drs. H. Rustam, E., 1999, Pengantar Ilmu
Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat & IPTEK, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://defie88.multiply.com/journal/item/3,
diakses Rabu, 12-05-2010
http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi,
diakses rabu, 12-05-2010
http://priadhita99.blogspot.com/2010/04/historiografi-eropa-modern_26.html,
diakses Rabu, 12-05-2010
[13]Pada awalnya Cina berusaha untuk melawan
pengaruh Barat, tapi kemudian berubah menjadi kompromistis dan akomodatif, hal
ini terjadi dalam periode tahun 1860 hingga tahun 1905 M. Sejak tahun 1905
sistem ujian negara dihapuskan, diiringi dengan reformasi cepat di bidang
pendidikan. Universitas-universitas terkenal dalam tahun 1930-1931, menyediakan
beberapa kedudukan bagi sejarawan. Lembaga terkemuka untuk peneliti lanjutan
adalah lembaga sejarah dan filologi, sebagai cabang dari Academia Sinica
yang dibentuk pemerintah pada tahun 1928. Lembaga ini menyokong kegiatan
penelitian guna mengatur kembali pusaka sejarah dan menerapkan metode-metode
analisa baru, termasuk pendekatan untuk membuktikan dokumen-dokumen bersejarah melalui penelitian
arkeologis. Penggalian yang dilakukan
atas bekas-bekas ibu kota
Shang di Anyang menjadi tonggak revolusi sejarah purba Cina.
Perpustakaan-perpustakaan nasional pun bermunculan di Peking dan Nanking yang diorganisasikan menurut cara Barat. Kemudian
pemerintah nasionalis mengambil alih arsip-arsip dinasti yang telah runtuh
sedikit demi sedikit dimodernisasikan, lalu sebagian kecil dari koleksi arsip
diterbitkan, terutama oleh Museum Istana di Peking. Lihat Abdullah, et. All., h.82-83
[18]Kojiki menceritakan masalah rakyat Jepang dari zaman dewa-dewa
melalui berdirinya kekuasaan Yamato hingga berakhirnya Pemerintahan Ratu Suiko
tahun 623 M. Keluarga kaisar mengajukan haknya untuk berkuasa karena keturunan
langsung dari Amaterasu, Dewa matahari. Ibid., h. 92
[19]Nihon Shoki ditulis dalam bahasa Cina dan didasarkan pada
model-model sejarah Cina. Nihon Shoki mencatat 660 sM sebagai masa kenaikan
tahta Jimmu (kaisar pertama), suatu yang diragukan sejarah modern. Nihon
Shoki dengan lima
sejarah murni berikutnya yang mencatat tentang kejadian istana kekaisaran
hingga tahun 887 dikenal sebagai Rikkokushi (enam sejarah nasional). Ibid.,
h. 93
[20]Taufik Abdullah, et. all., Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah
dan Perspektif, h. 94-95
[25]Ibid . Lihat juga http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi,
diakses rabu, 12-05-2010
[35]http://fauzihistory.blogspot.com,
diakses: Rabu, 12-05-2010
[36]http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi,
diakses rabu, 12-05-2010. Lihat juga Taufik Abdullah, et. all., Ilmu Sejarah
dan Historiografi Arah dan Perspektif, h. 113-116
[40]Historiografi Eropa kuno yang berbentuk puisi dan syair tadi
merupakan karya yang diperkenalkan oleh Homer. Dalam karya Homer ditulis
berdasarkan cerita-cerita lama, seperti halnya menceritakan tentang kehancuran
Troya pada 1200 sM. Tulisan tersebut banyak mengandung informasi mengenai
kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat pada saat itu. Lihat R. G. Coolingwood, The
Idea of History. London: oxford University,
tt., h. 14-20
[41]Tulisan sejarah yang berkembang menjadi prosa diciptakan oleh
Herodotus dan berkembang pada abad ke-6 sM tepatnya di Ionia.
Hal ini dikarenakan pada waktu itu adanya kebebasan ekspresi untuk masyarakat.
Sedangkan dalam kebudayaan muncul filsafat spekulatif yang mempersoalkan asal
usul dan struktur dunia. Ibid., h. 28
[42]R. G. Collingwood, Idea of History, h. 29
[45]Karya ini berusaha untuk menggambarkan kebesaran Romawi termasuk
didalamnya kehidupan rakyat kecil, kekejaman para mandor terhadap para pekerja,
dasar-dasar hukum Romawi, proses perkembangan pemerintahan, perkembangan teori
politik, moral dan juga hubungan antar tradisi. Ibid., h. 36
[47]http://fauzihistory.blogspot.com/2009/06/perkembangan-historiografi,
diakses rabu, 12-05-2010
[48]R. G. Collingwood, Idea of History, h. 40
[49]Maksud "Zaman Kelam" ialah zaman
masyarakat Eropa menghadapi kemunduran intelek dan ilmu pengetahuan. Zaman ini
selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan Kerajaan Romawi dan
berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15 Masehi. Lihat W.J. Van der
Meulen. S.J. Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta, h. 14
[50]Istilah Industri dan Modern dalam sejarah Eropa sering
dikait-kaitkan dan cenderung identik satu sama lain. Hal ini beralasan
mengingat definisi modern yang hendak meninggalkan masa ancient seraya
berbanding lurus dengan industri yang hendak meninggalkan pra-Industri. Lihat
W.J. Van der Meulen, Ibid., h. 16
[51]Revolusi dalam konteks apapun selalu digunakan untuk menjelaskan
sebuah lompatan radikal dari sebuah masa ke masa yang lain. Ada unsur perubahan, pendobrakan, perombakan,
pembaharuan, dan terkadang diwarnai oleh friksi-friksi antara kelas/golongan.
Hal lain yang mencirikan sebuah revolusi adalah kesan mendadak dan seketika
tanpa ada langkah-langkah bertahap layaknya “evolusi”. Antara revolusi dan
evolusi sebenarnya memiliki keterkaitan. Revolusi dapat dimaknai lompatan
terakhir atas rentetan tahapan yang telah dibangun secara evolutif. Ibid.,
h. 17
[52]W.J. Van der Meulen. S.J. Belajar dari
Lahirnya Industrialisasi di Eropa, h. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar